tribundepok.com – Sejumlah Setu atau sebagian menyebutnya Setu di Depok mengalami pendangkalan lantaran sering dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga tak bertanggungjawab. Itu masih tak seberapa, sejumlah wilayah sepadan setu juga diakui warga sebagai tanah miliknya.
Pemerintah Kota Depok tak bisa berbuat banyak, paling hanya bisa mengeruk membersihkan sampahnya dan juga mengurangi pendangkalan dan membuat turab serta menentukan sepadan setu. Ternyata titik permasalahannya adalah kewenangan. Meski berada di wilayah Pemerintah Kota Depok, sesuai dengan Permen No14 setu merupakan kewenangan Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian PU dan penguasaannya ada pada pemerintah propinsi. Hal ini termaktub dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri no 14 tahun 1998 tentang Pembinaan Pengelolaan Situ situ di wilayah Jabodetabek.
“ Pemerintah Kota Depok butuh pendelegasian agar penanganan setu bisa lebih maksimal . Dengan adanya pendelegasian, pemkot akan bisa melakukan teguran bahkan pembongkaran bilamana garis sepadan setu dilanggar bahkan diakui milik warga. Apalagi sekarang banyak pengembang yang nakal yang sengaja mengambil lahan setu yang dan diaku sebagai miliknya.
Kalau dibiarkan Setu tersebut makin berkurang luasnya, seperti yang terjadi pada Situ Rawa Besar di Bilangan Kampung Lio, Kelurahan Depok, Pancoran Mas, “ ujar Samsudin,
Juru Situ Rawa Besar. Jika Pemerintah Kota Depok punya kewenangan atau mendapat delegasi atas setu seperti hal Rawa Besar tentu yang dilakukan bisa lebih baik.
“ Selama ini kontrol atas Setu dari Pemerintah Jawa Barat hanya sekedar melihat bersih kotornya, menggelontorkan anggaran untuk pembersihan mencegah pendangkalan dan melakukan penurapan.
“ Padahal yang lebih mendesak adalah mengatasi penyerobotan atas setu. Setiap selesai di turap ada saja warga yang mengakui itu adalah bagian dari tanahnya.
Juga ada pengembang yang ikutan menyerobot lahan, padahal ada aturan batasan sekian puluh meter dari tepian sepadan setu adalah sungai atau setu yang tidak boleh di bangun dan merupakan bagian dari lahan setu, tidak bisa dimiliki perorangan.
Tapi yang terjadi sekarang banyak pendangkalan , entah sudah berapa hektar , setelah jadi daratan diaku warga sebagai tanahnya,” paparnya.
Samsudin yang sudah jadi Juru Situ selama 3 tahun dan sebelumnya dari tahun 2012 jadi Pokja Setu tahu benar permasalahan yang dihadapinya. Tetapi ia tak punya kewenangan “mengatur” warga seputar Setu, paling hanya menegur jika ada yang ketahuan membuang sampah.
“ Saya sebagai juru setu tidak berkutik kecuali jika ada surat kewenangan untuk menegur, lagi pula kalau urusan tindakan warga menyerobot lahan hanya pemerintah dan aparatnya yang bisa menindak, itu juga kalau pemerintah pusat dan propinsi memberi mandat. Kalau saya pribadi berharap situ di kuasakan sepenuhnya pada daerah yang bersangkutan untuk dikelola .
Kan bisa dibersihkan dari penyerobot, dibuat penyaring sampah sehingga sampah tidak mengalir ke setu lagi, sesudah bersih dijadikan tempat wisata, bisa memakmurkan warga sekitar bisa kerja di sana, dari parkir, pedagang makanan dan lainnya,” ujar Samsudin yang juga Ketua RT disekitar lokasi Setu.
Pemerintah Kota Depok sesuai kewenangannya, juga tidak tinggal diam dengan kondisi banyaknya setu di Depok telah dibuat dua Perda untuk mengaturya yakni Perda Kota Depok No 14 tahun 2001 tentang ketertiban umum dan Perda no 18 tahun 2003 tentag Garis Sempadan.
Selain itu masih ada aturan lain terkait Situ yakni Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup no 28 tahun 2009 tentang daya tampung beban pencemaran air danau dan / atau waduk.
Setu Rawa Besar berada di dalam lingkup 5 RW dari wilayah 2 Kelurahan yaitu Kelurahan Depok dan Depok Jaya. Menurut Samsudin , Situ Rawa Besar sudah ada sejak 1718 di Jaman Belanda, di sekitar wilayah itu dulunya adalah pabrik genteng. Hanya saja sekarang luasnya sudah jauh menyusut sebagian menjadi daratan dan perumahan.
“ Permasalahan yang dihadapi sekarang selain penyerobotan lahan dan sampah yang dibuang atau terbawa aliran kemari juga adanya limbah dari pabrik tempe atau tahu yang mengalir kemari, selain menimbulkan bau busuk juga membuat ikan-ikan mati. Mudah-mudahan pihak kelurahan bisa mengarahkan pabrik tempe tahu agar mengelola limbahnya lebih baik agar tak merusak ekositem setu ,” ujar Samsudin menutup pembicaraan. (toro)