tribundepok.com – Meski sempat menjalankan daring atau PJJ saat PSBB, agaknya kebijakan memperpanjang PJJ hingga Corona enyah dari bumi Indonesia, perlu ditinjau lagi. Bukannya tidak memikirkan keselamatan putra-putri kita atau mempersalahkan keputusan Menteri Pendidikan yang ingin melindungi para siswa dari penyebaran Corona. Tetapi kebijakan PJJ “ jangka panjang” ini sungguh membebani rakyat, lahir batin. Bukan hanya rakyat, sejujurnya pemerintah juga tidak siap melaksanakannya. Banyak poin yang harus diperbaiki, jika ini mau diteruskan.
Saat ini kehidupan masyarakat sudah susah, mereka takut akan keselamatan keluarga , terdampak secara ekonomi, tak seharusnya mereka masih diminta memikul beban berat akibat ketidaksiapan pemerintah menjalankan aturannya sendiri.
Seharusnya sejak awal turunnya keputusan Menteri Pendidikan terkait PJJ, pemerintah daerah, DPRD dan Dinas Pendidikan daerah yang tahu persis kondisi wilayah dan warganya, melakukan upaya menggodok peraturan penunjang sesuai dengan kondisi setempat. Ini bukan khusus untuk Depok , melainkan seluruh daerah di Indonesia.
Persoalan gadget dan kuota sangatlah memberatkan masyarakat Indonesia di manapun. Bisa dibayangkan berapa besar pengeluaran ekstra untuk kuota PJJ anak-anaknya. Apalagi jika anaknya bukan hanya satu dua. Satu kepala saja membutuhkan lebih dari Rp 10 ribu rupiah untuk sekali PJJ ( antara pk 7-12 siang) dan itu setiap hari, belum lagi jika ada PR yang harus dibuat .
Sementara PJJ berlangsung 5 kali dalam seminggu,” tambahnya.
Masyarakat lebih sengsara lagi lantaran upaya memperingan pengeluaran dengan menggunakan wifi pun sulit dilakukan , sejumlah perusahaan seperti Indihome, My Republik, XL Home, Transvision dan lainnya yang gencar beriklan atau menyebar salesnya ternyata belum mampu memberikan pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat lantaran masih terbentur keterbatasan jaringan , di luar perumahan yang selama ini jadi pasar mereka.
Jangankan di daerah terpencil, di Depok ini saja sebagai penyanggah ibukota, banyak warga yang tertolak saat ingin memasang dengan alasan jaringan penuh atau justru belum ada jaringan. Seharusnya jika kukuh menginginkan PJJ berjalan harus ada keberpihakan pemerintah terhadap rakyat.
Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan. Peertama, pemerintah melalui sekolah memantau kemampuan keluarga siswa berdasarkan data dapodik yang ada, jika ada yang tidak mampu atau memiliki gadget atau tak mampu membeli kuota bisa dibantu dengan pembelajaran di sekolah, dimana pihak sekolah menyediakan sarana dan wifinya. Misalnya, si anak tersebut bisa PJJ dari ruang sekolah tentunya dengan protokol kesehatan, toh jumlahnya tak banyak.
Bisa juga seperti salah satu sekolah swasta di Tapos yang melaporkan pada Kelurahan setempat jumlah siswanya yang tidak mampu membeli hp padahal memerlukannya untuk belajar jarak jauh dan ujian. Dan pihak Kelurahan beserta tiga pilar membantu dengan menggandeng perusahaan yang ada di wilayahnya untuk menggelontorkan CSR membantu anak-anak tersebut agar bisa memiliki gadget. Ini tindakan kongrit .
Pada dasarnya pemerintah tak bisa tinggal diam setelah mengeluarkan aturan, adakan kebijakan tersendiri misalnya dibuat aturan kuota gratis untuk siswa atau setidaknya pemerintah mengadakan kerjasama dengan provider untuk menyediakan paket kuota murah atau jaringan khusus PJJ yang bisa digunakan antara pukul 7 -12 siang.
Kuota murah seperti itu takkan merugikan provider. Sekarang saja ada provider yang mampu menyediakan paket harian murah namun sebagian besar isi paketnya kuota malam yang berlaku satu hari saja.
Ini justru membuat anak berupaya menghabiskannya dengan main game semalaman sehingga esoknya ngantuk saat PJJ. Kenapa tidak dibalik saja mereka menyediakan paket PJJ, takkan rugi karena yang bakal jadi pelanggan juga lebih banyak. Ini hanya sekedar contoh. Pemerintah tentunya lebih tahu harus bekerjasama seperti apa yang bisa membantu masyarakatnya. (*)
Penulis adalah Ketua Divisi Pendidikan , Brigade Nusantara (BRINUS)