tribundepok. com – Kekalahan pemerintah Kota Depok dalam gugatan Perda RT/RW no 15 tahun
2015 di Mahkamah Agung RI ( putusan MA No 03 P/HUM/2018) pada 6 Maret 2018 , ditindak lanjuti
dengan instruksi walikota no 8 thn 2018 ( 21 Nopember 2018) tentang dasar hukum Pengaturan
RT/RW Kota Depok dan Perwa no 22 tahun 2019 ( 16 April 2019 ) tentang tata ruang Kecamatan
Tapos. Keluarnya Perwa ini kini disoroti banyak pihak, baik Tokoh Masyarakat, LPM, LSM dan juga
warga Tapos pada umumnya. Mayoritas menyayangkan keluarnya Perwa tersebut sebab diduga
menyalahi aturan perundangan yang ada di atasnya.
“ Menurut hemat kami Perwa tersebut menyalahi aturan perundangan di atasnya terutama UU no 30 thn 2014 tentang administrasi pemerintahan. Dan UU no. 12 th 2013 tentang pembentukan perundang-undangan. Lebih miris lagi dengan setelah Perwa tersebut tidak diberikan lahan hijau pengganti RTH yang hilang di wilayah timur Kota Depok,” papar Albert Sitorus dari RTH Movement.
RTH Movement merupakan Jaringan Advokasi Ruang terbuka Hijau Kota Depok yang beranggotakan Masyarakat Peduli Air (MPA), IKMD , Environmental Society, Walhi Jakarta, IKAL- GD, IKA P-1 Depok, Solidaritas Perempuan untuk Ruang Terbuka dan Forum Indonesia Bening, tokoh masyarakat dan juga LPM Tapos.
Saat ini menurut mereka Pemerintah Kota Depok baru bisa memenuhi 11 % dari seharusnya 30 % .
UU no 26 thn 2007 dalam pasal 29-30 telah mengamanahkan pada setiap kota/kabupaten untuk
memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 30 % dari luas wilayahnya.
Sebelum keputusan MA atas tanah ex. Karabha Digdaya, Kota Depok masih punya ‘hutang” pemenuhan
kebutuhan RTH. Bahkan menurut catatan semakin hari semakin menurun saja. Tahun 2006 luas
RTH Kota Depok 2.359,20 Ha itu pun belum mampu mencukup kebutuhan RTH, di tahun 2011
menurun jadi sebesar 1.729,53 ha.
“ Padahal RTH yang dibutuhkan berdasarkan luas wilayah Depok adalah sebesar 4.005,80 ha dan
jika berdasarkan jumlah penduduk Kota Depok adalah sebesar 3. 627,40 ha. Dengan perubahan
peruntukan tanah Karabha dan dengan adanya Perwa No. 22 tahun 2019 tersebut maka Depok
Depok berpotensi kehilangan lebih dari 500 ha RTH, “ ujar Albert Sitorus.
Berbagai pihak menyayangkan keluarnya Perwa tersebut “ Dengan keluarnya Perwa tersebut
seolah menjadi “payung” terbitnya ijin “mutilasi” ruang terbuka hijau, tidak hanya bagi wilayah
timur Depok tetapi juga membuka kesempatan penghancuran tata ruang Kota Depok secara
keseluruhan,´” ujar Didi Kurniawan dari LSM Peduli Lingkungan Kota Depok.
Menurut Didi Kurniawan perubahan warna hijau menjadi kuning pada peruntukkan tata ruang Kota
Depok tak terbatas pada lahan Karabha. Kalau kita amati terjadi juga di berbagai wilayah lain di
Depok antara lain lahan sekitar Deppen , Raflesia, sekitar Setu Jatijajar dan lainnya.
Anehnya lagi ada yang di Perdanya masih hijau tetapi di Perwanya sudah kuning. Ini perlu dipertanyakan, apa memang ada peluang terbuka untuk para ‘pemain’ disini .?! ” ujarnya mempertanyakan.
RTH Movement yang berisi aktifis, pemerhati dan praktisi di bidang lingkungan hidup beranggapan
kondisi RTH Kota Depok terkini terlihat makin terdesak dan berharap walikota mampu mengatasi
kondisi ini dengan membuat peraturan yang lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan RTH dan
peduli pada keberlanjutan tata ruang kota. Tidak main ganti peruntukan untuk kepentingan tertentu.
(toro)