google-site-verification=Q8IqhJlJ-8kubb5NQVbJk3WGTzny8GJUwXqKF5Nb4Nk
BerandaKhazanahNILAI EKOLOGIS DALAM TRADISI MANDI SUCI JELANG RAMADHAN
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

NILAI EKOLOGIS DALAM TRADISI MANDI SUCI JELANG RAMADHAN

tribundepok.com – Di Indonesia terdapat ragam kegiatan yang biasa dilakukan masyarakat dalam rangka menyambut datangnya Ramadhan. Persiapan tersebut selalu identik dengan proses penyucian diri, jiwa, serta kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan amalan ibadah.Salah satunya adalah tradisi mandi “suci”.

Ada beberapa tradisi mandi suci yang unik dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah. Ini biasanya dilakukan sehari sebelum masuk bulan Ramadhan. Tradisi tersebut pada dasarnya sama di tiap daerah, hanya berbeda nama atau sebutannya saja.

Tradisi mandi suci ini telah diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur. Bahkan tradisi mandi ini sudah ada sejak zaman pra-Islam. Meskipun tidak ada aturan yang baku tentang prosesi mandi ini, akan tetapi masyarakat pada umumnya akan melakukan tradisi tersebut secara masal (beramai-ramai) di umbul atau sumber mata air. Uniknya lagi, tradisi ini menggunakan rempah-rempah alami atau herbal wewangian yang diracik secara khusus.

Kegiatan mandi yang rutin dilakukan tahunan ini mengandung makna konotatif sebagai pembersihan diri lahir dan batin sebelum mereka semuanya memasuki bulan puasa. Sehingga saat memasuki Ramadhan dalam keadaan suci dan bersih.

Mandi suci ini juga kerap memanjatkan doa agar terhindar dari malapetaka selama setahun ke depan dan juga sebagai refleksi atas waktu yang lalu.

Ada beberapa etnis di Indonesia yang kerap melakukan tradisi mandi suci ini. Di antaranya etnis Batak Muslim, Melayu, Minangkabau, serta Jawa.

Bagi masyarakat muslim bersuku Batak mandi suci menyambut bulan Ramadhan dikenal dengan istilah tradisi marpangir. Marpangir adalah tradisi mandi wewangian yang terbuat dari bermacam jenis rempah-rempah alami.

Secara harfiah Marpangir berasal dari kata ‘Pangir’ ditambah kata kerja ‘Mar’ dalam bahasa indonesia ‘Mar’ sama dengan ‘Ber’ sedangkan ‘Pangir’ dalam bahasa Indonesia adalah ‘Ramuan’. Ramuannya sendiri terdiri terdiri dari daun pandan, bunga kenanga, akar wangi dan ampas kelapa yang dikeringkan terlebih dahulu kemudian direbus, maka ramuan pun siap dipakai untuk Marpangir.

Marpangir biasanya dilakukan di aliran sungai mengalir deras. Marpangir akan dilakukan beramai-ramai di bantaran kali.

Tujuannya adalah membersihkan tubuh dengan berbagai ramuan yang telah disiapkan tadi. Dengan Marpangir juga mereka bermaksud menghanyutkan dosa-dosa masa lalu, dan mempersiapkan diri memasuki bulan suci Ramadhan.

Bagi masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, upacara mandi yang rutin dilakukan ketika akan mendekati bulan Ramadhan disebut dengan Balimau. Masyarakat Melayu Deli serta Melayu Riau juga kerap melakukan tradisi mandi Balimau jelang Ramadhan.

Di dalam prakteknya, Balimau menggunakan air yang telah dicampur oleh limau. Terkadang orang Minang juga menambahkan berbagai macam bunga maupun rempah yang wangi seperti akar tanaman gembelu, bunga Tanjung, bunga melati, bunga kenanga, daun pandan dan sebagainya.

Menurut sumber, limau digunakan saat tradisi mandi ini, dikarenakan jaman dulu tidak semua orang di Minangkabau bisa mandi dengan sangat bersih. Ini karena tidak adanya sabun kala itu atau di wilayah yang lainnya tidak memiliki sumber air yang cukup. Oleh karenanya, limau atau jeruk digunakan masyarakat Minang untuk menggantikan sabun sebab jeruk mampu menghilangkan bau, keringat, maupun minyak di dalam tubuh.

Mandi bersama-sama ini dilakukan di kali, di pinggir laut maupun di sumber-sumber dengan mendatangi sumber mata air murni yang dipercaya masyarakat bisa mendatangkan berkat atau dianggap keramat. Di sana mereka kemudian mandi besar, membersihkan badan dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Seiring waktu, penerapan mandi suci pada masyarakat etnik di daerah Indonesia mengalami pergeseran, seperti tidak lagi harus dilakukan di sumber mata air, namun bisa di rumah masing-masing. Dan ketika sabun mandi sudah mudah didapat, pangir atau limau hanya digunakan untuk membersihkan rambut seperti shampo.

Namun tradisi mandi ini masih melekat dan dilestarikan di berbagai tempat. Bukan hanya menjadi simbol penyucian badan maupun batin ataupun sekadar sarana rekreasi bagi sebagian orang karena bersuka cita menyambut Ramadhan, tetapi juga sebagai upaya menjaga kearifan lokal.

Nilai-Nilai Ekologis dalam Tradisi Mandi Suci

 Kearifan lokal tradisi mandi suci jelang Ramadhan mengandung nilai kearifan ekologis karena ada unsur pemanfaatan alam serta wujud penghargaan terhadap alam. Penanaman nilai-nilai kearifan ekologis melalui tradisi mandi suci merupakan salah satu upaya pewarisan nilai luhur untuk menjaga keseimbangan sistem ekologi.

Adapun nilai-nilai ekologis yang dapat dijumpai dari tradisi mandi suci ini adalah sebagai berikut.

Pertama, tradisi mandi suci merupakan usaha untuk menjaga keanekaragaman hayati serta konservasi berbagai jenis tanaman. Berbagai ramuan tradisional yang digunakan untuk mandi seperti limau atau jeruk nipis, daun pandan, bunga pinang, bunga mawar, bunga kenanga, akar wangi dan sebagainya tentunya menunjukkan keanekaragaman hayati di Indonesia yang sulit dijumpai di negara lain.

Upacara mandi suci ini tentunya sebagai media untuk mengenali, memperkenalkan serta memanfaatkan kekayaan flora Nusantara sekaligus menggugah semangat konservasi atau proteksi terhadap berbagai jenis keanekaragaman hayati (diversitas hayati) bagi masyarakat luas.

Jika tradisi mandi menggunakan ramuan tradisional ini hilang, dikhawatirkan generasi bangsa tidak mengenal lagi tanaman-tanaman tradisional yang ada di Indonesia. Apalagi budaya bangsa saat ini mulai tergerus oleh budaya asing seiring pesatnya arus informasi dan teknologi.

Dengan adanya tradisi mandi suci dengan ramuan ini, diharapkan masyarakat termotivasi untuk mencintai dan membudidayakan keanekaragaman tumbuhan yang memiliki banyak khasiat ini agar tidak hilang karena serbuan sabun modern buatan pabrik sebagai pewangi badan.

Kedua, ritual mandi suci dianggap sebagai sarana bagi manusia agar semakin dekat dengan alam sekitar. Adanya ritual mandi suci, akan membuat masyarakat kembali berkunjung ke mata air atau biasa disebut sendang dalam bahasa Jawa serta aliran air yaitu sungai. Dengan begitu masyarakat bisa merasakan peran dari alam yang telah banyak mendatangkan berkah dan rahmat dalam kehidupan ini.

Hadirnya tradisi ini secara tidak langsung akan membawa rasa tanggung jawab yang besar bagi masyarakat untuk menjaga dan merawat lingkungan. Apabila lingkungan di sumber air sampai kotor dan airnya menjadi keruh maka ritual mandi suci ini tidak bisa dilakukan dan akan terancam hilang.

Pada kenyataannya, saat ini banyak sumber mata air yang digunakan untuk mandi para pengunjung malah kotor karena saking ramainya pengunjung. Banyak para pengunjung yang membuang sampah sembarangan di sekitar umbul, bahkan tidak sedikit dari para pengunjung yang membuang sampah ke dalam air.

Bila hal tersebut terjadi, maka terpaksa ritual mandi suci akan dilakukan pada kolam renang buatan, namun sebenarnya ritual ini akan lebih afdol jika dilakukan di sumber air dari alam yang sebenarnya.

Oleh karena itu, ritual mandi suci juga dijadikan sebagai tolak ukur, sejauh mana masyarakat berdialog dengan lingkungan dan alam melalui pelestarian keadaan alam sekitarnya. Jika tradisi ini sampai hilang, maka sangat besar kemungkinannya bahwa alam telah rusak dikarenakan air sudah tercemar sehingga tidak dapat untuk digunakan mandi.

Ritual mandi suci sejatinya merupakan sarana untuk manusia agar semakin dekat dengan alam sekitar. Hal ini untuk mengingatkan manusia, apakah mereka sudah memelihara alam dengan baik dan tentunya menyadarkan mereka untuk lebih bijak memanfaatkan air serta kekayaan hayati di kemudian hari.

Dengan demikian, puasa yang didahului dengan ritual mandi suci sebagai penyambutan bulan Ramadhan bukan hanya untuk mensucikan jiwa manusia dengan menjaganya dari hawa nafsu, namun juga menjaga kesucian atau kebersihan alam. Inilah bentuk harmonisasi manusia dan alam yang harus terus dijaga.

(Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum –dewiayularasati0305@gmail.com

 

spot_imgspot_imgspot_img
tribun depok
tribun depokhttp://tribundepok.com
tribundepok.com - faktual update
tribundepok.com