spot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_img
BerandaJawa BaratMUI Bogor Tolak Rencana Pidanakan Nikah Sirih : Sebuah...

MUI Bogor Tolak Rencana Pidanakan Nikah Sirih : Sebuah Pandangan Islam dan Realita Sosial

tribundepok.com – Fenomena pernikahan siri atau nikah sirih di kawasan Puncak, Bogor, kembali menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, pernikahan jenis ini sering kali disalahpahami dan dikaitkan dengan fenomena “nikah kontrak” yang lebih kontroversial. Masyarakat seringkali bingung membedakan kedua praktik ini, yang kemudian menimbulkan beragam persepsi dan kekhawatiran.

Pemerintah pun merespons fenomena tersebut dengan menggulirkan wacana untuk membuat undang-undang yang mengatur pernikahan siri dan memberikan sanksi pidana bagi pelakunya. Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Bogor justru menolak usulan tersebut dengan alasan prinsip ajaran Islam yang dianggap telah memenuhi ketentuan syarat sahnya pernikahan.

Ketua MUI Cabang Bogor, KH Adam Ibrahim, menyampaikan penolakannya terhadap rencana pemidanaan bagi pelaku nikah siri tersebut. Menurutnya, dalam pandangan ajaran Islam, nikah siri sah sepanjang memenuhi tiga syarat utama: adanya pasangan pengantin, wali, dan saksi. Ia menegaskan, jika ketiga syarat ini terpenuhi, maka pernikahan tersebut sudah dianggap sah menurut hukum Islam.

“Saya tidak sependapat jika nikah siri diundang-undangkan, apalagi sampai pelanggarnya dipidanakan. Karena menurut ajaran agama Islam, nikah siri sah jika sudah memenuhi persyaratan,” ujarnya di kutip Rabu (12/3/2025)

Lebih lanjut, KH Adam menambahkan bahwa nikah siri bukanlah pelanggaran yang patut dipidana, sebab pada dasarnya pernikahan ini bersifat sah di mata agama, meski tidak tercatat secara resmi di negara. Penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku nikah siri, menurutnya, akan melampaui batas kewenangan pemerintah dan bertentangan dengan ajaran Tuhan.

“Ini sudah melebihi aturan Tuhan, karena tidak semua pelaku nikah siri berlaku seperti yang disangkakan, tergantung pada niat dan cara mereka melaksanakannya,” ujar Adam dengan tegas.

MUI Cabang Bogor juga menilai bahwa fenomena nikah siri muncul karena berbagai faktor, salah satunya adalah masalah ekonomi. Banyak masyarakat dari kalangan ekonomi lemah merasa kesulitan untuk mengurus pernikahan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) yang memerlukan biaya.

“Bagi mereka yang kesulitan, nikah siri adalah jalan keluar. Setelah itu, jika ada program nikah massal atau acara serupa, mereka baru akan mendaftarkan pernikahan mereka ke catatan sipil,” tambah KH Adam.

Salah satu contohnya adalah kisah Ita (25), warga Merdeka yang memilih untuk menikah siri dengan pasangannya karena keterbatasan biaya.

“Saya menikah siri karena tidak punya biaya untuk mengurus pernikahan di KUA. Kini, setelah memiliki dua anak, kami sedang mendaftarkan diri untuk mengikuti nikah massal agar anak-anak kami memiliki akta kelahiran dan surat nikah resmi,” jelasnya.

Bagi MUI Cabang Bogor, lebih penting bagi pemerintah untuk mengatasi masalah sosial yang lebih luas seperti perzinaan, kumpul kebo, dan prostitusi yang semakin marak. KH Adam Ibrahim berpendapat, daripada mengatur pernikahan siri, pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih pada pengaturan perilaku yang lebih meresahkan.

“Pemerintah harusnya lebih fokus pada masalah yang lebih besar, seperti pelacuran, perzinaan, dan kumpul kebo yang tidak terpantau dan dibiarkan begitu saja. Nikah siri adalah masalah manusiawi yang bisa ditangani dengan cara yang lebih bijak, bukan dengan pemidanaan,” ujar Adam.

Di tengah perdebatan ini, penting bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang lebih mengedepankan keadilan, pengertian, dan perhatian terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Sebab, pernikahan siri bukan hanya sekadar soal hukum atau agama, tetapi juga tentang situasi kehidupan nyata yang dihadapi oleh banyak pasangan.

MUI Bogor, melalui Ketua KH Adam Ibrahim, mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah harus memperhatikan berbagai aspek dan tidak mengorbankan prinsip-prinsip agama serta hak-hak masyarakat yang menjalani hidup dalam keterbatasan. Agar peraturan yang ada benar-benar memberikan solusi, bukan menambah beban, khususnya bagi mereka yang sudah berusaha menjalani hidup dengan cara yang sah menurut agama, meskipun tidak terdaftar secara administratif.

Dengan pendekatan yang lebih bijak dan tidak terburu-buru, diharapkan permasalahan ini bisa diselesaikan dengan penuh pertimbangan dan keseimbangan antara aturan agama, sosial, dan hukum negara.***

Editor : Dian

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
tribun depok
tribun depokhttp://tribundepok.com
tribundepok.com - faktual update
error: tribundepok.com