tribundepok.com – Tanggapan keras ketua komisi D DPRD Kota Depok , Supriatni atas info kenaikan retribusi Puskesmas dari Rp 2000 menjadi Rp 10.000, disikapi dengan bijaksana oleh Ade Firmansyah. Menurutnya tak perlu buru-buru menuduh Dinas Kesehatan dan Pemerintah Kota Depok bertindak sembarang dan dan menuduh walikota menyulitkan masyarakat.
” Saya rasa tidak mungkin pemerintah kota Depok ingin menyulitkan masyarakat. Setiap keputusan pasti sudah sudah melalui kajian dan ada dasar hukumnya. Menurut saya kenaikan retribusi UPTD Puskesmas Depok sudah melalui prosedur yang benar dan sesusi dengan regulasinya. Barangkali akan lebih baik jika kita panggil pihak Dinas Kesehatan untuk menjelaskan alasannya dan mendiskusikannya,” ujar H. Ade Firmansyah, SH.
Menurutnya wajar jika ada kenaikan retribusi tersebut. Dari sejumlah wilayah di sekitar , retribusi Puskesmas di Depok terhitung paling rendah bahkan sudah lebih sepuluh tahun tidak pernah ada kenaikan.
” Kita lihat saja beberapa daerah lain sudah lama menaikkan retribusinya seperti DKl Jakarta sejak 2018 Rp 10.000 dan IGD nya Rp 20.000 , kabupaten Bekasi sejak 2020 Rp 5000 / IGD Rp 10.000, Kota Bogor sejak 2021 Rp 8000/ IGD Rp 25.000, Tangerang Selatan Rp 35.000/ IGD Rp 35.000 , Cirebon Rp 10.000/ IGD Rp 20.000 . Dari sekian contoh saja sudah terlihat bahwa Depok selama ini belum pernah menaikkan retribusi , apalagi ketika Covid. Pemerintah berpihak pada masyarakat kok,” sanggahnya.
Kenapa sekarang harus ada kenaikan pun harus menurut Ade harus disadari latar belakangnya. UPTD Puskesmas Depok sudah cukup lama ditetapkan sebagsi Badan Layanan Umum Daerah ( BLUD ), sehingga perlu ada penetapan tarif karena jika Puskesmas belum menjadi BLUD namanya retribusi.
“Dengan menjadi BLUD puskesmas harus bisa memenuhi biaya operasional yang menjadi beban untuk operasional Puskesmas secara mandiri tidak lagi bergantung pada APBD. Jadi ini terkait langsung dengan pelayanan yang lebih baik. Dari tarif yang ditetapkan itu akan kembali diperuntukkan untuk masyarakat misalnya kenaikan mutu obat, tambahan tenaga kesehatan jika diperlukan. Semua itu sulit dicapai dengan tarif Rp 2000, jaman sudah berubah, harga segala sesuatu sudah berubah,” tandas Ade.
Kenapa harus naik 500 % Apakah keputusan ini menyulitkan masyarakat kecil ? Menurut Ade sekilas kenaiksn itu terlihat besar. Tapi jika dilihat nominalnya masih wajar , apalagi di banding wilayah lain.
” Kenapa langsung 500% , yang bisa menjawab itu adalah Dinkes saat nanti dipanggil dan dikonfirmasi. Tapi menurut saya langkah itu benar karena lebih tidak baik jika ada kenaikan berkali -kali atau bertahap, toh tarif yang ditentukan masih wajar,” ungkapnya.
Masih menurut Ade Firmansyah, kenaikan tarif ini tidak menyasar pada masyarakat miskin.
” Banyak masyarakat mampu menggunakan Puskesmas Depok meski sebenarnya mereka mampu membayar iuran BPJS, karena tarif Puskesmasnya sangat murah. Dengan kenaikan ini juga mendorong mereka beralih ke BPJS. Sedangkan masyarakat miskin tidak terdampak karena mereka menggunakan KİS untuk berobat ke Puskesmas dan RS ,” ujarnya
Kenaikan ini juga sesuai regulasi Pemkot Depok tentang tarif pelayanan Puskesmas yang tertuang dalam Perwal no 61 tahun 2016, karena Puskesmas sudah menjadi BLUD. Sebelum ini pun soal retribusi juga punya payung hukum yakni Perda no 10 THN 2010. ” Jadi tidak benar Pemkot/ Dinkes sembarangan menentukan tarif, ada regulasi dan sudah pasti melewati kajian dan perbandingan,”
Lebih lanjut menurutnya dampak kenaikan ini juga positif yakni mendorong warga Depok yang belum memiliki Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) baik BPJS atau KIS, untuk beralih kesana.
“Selama ini masyarakat belum memprioritaskan program nasional tersebut. İtu karena menganggap berobat ke Puskesmas sangat murah. Padahal jika warga Depok sudah 98% JKN , maka sudah mencapai UHC ( Universal Health Coverage ) maka semua warga berobat pun cukup pakai KTP. Jadi kita doronglah Depok ini mencapai UHC, sekarang baru mencapai 95% .Kan demi kepentingan kesehatan masyarakat Depok juga, ” pungkas Ade. ( d’toro)