tribundepok.com – Berita mengenai anggaran senilai Rp 73 miliar yang dialokasikan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok untuk sosialisasi Pilkada 2024 semakin mengemuka. Banyak pihak, termasuk masyarakat dan para wartawan, mempertanyakan efektivitas penggunaan anggaran besar tersebut dalam meningkatkan pemahaman publik mengenai calon pemimpin daerah.
Tessa Mahardika, juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengakui adanya keluhan dari masyarakat terkait minimnya sosialisasi yang dilakukan oleh KPUD.
“Sosialisasi Pilkada tahun 2024 sangat penting agar masyarakat memahami siapa calon Walikota dan Wakil Walikota yang akan memimpin Kota Depok selama lima tahun ke depan,” ungkap Tessa Sabtu (12/10/2024).
Tessa menegaskan, informasi yang jelas mengenai calon pemimpin daerah adalah kunci untuk memastikan bahwa masyarakat dapat memilih wakil yang sesuai dengan kebutuhan mereka. “Apabila masyarakat tidak mengetahui siapa calon pemimpin daerah, hal ini sangat disayangkan. Calon yang terpilih seharusnya merepresentasikan aspirasi masyarakat untuk kemajuan Kota Depok,” tambahnya.
Tessa juga meminta pemerintah daerah untuk lebih aktif dalam memantau penggunaan anggaran Pilkada yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). “Pengawasan yang ketat diperlukan untuk memastikan bahwa dana tersebut digunakan secara efektif dan transparan,” tandasnya.
Menanggapi hal ini, Babai Suhaimi, Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok, menyatakan bahwa keluhan masyarakat mengenai kurangnya sosialisasi adalah hal yang valid. “Kami akan segera memanggil pihak KPUD untuk mendengarkan langsung keluhan masyarakat mengenai kurangnya sosialisasi, terutama melalui media massa dan saluran lainnya,” ujarnya.
Babai menambahkan, dengan anggaran mencapai Rp 73 miliar, seharusnya KPUD bisa mengalokasikan sekitar 10% atau Rp 7 miliar untuk sosialisasi. “Tapi mengapa masih banyak keluhan? Ini menunjukkan ada kejanggalan dalam penggunaan anggaran yang akan kami pertanyakan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Depok, Rusdy Nurdiansyah, juga menyoroti perlunya aparat penegak hukum untuk mengawasi penggunaan anggaran KPUD sebesar Rp 73 miliar. “Kendati kampanye sudah memasuki fase krusial, sosialisasi dari KPUD di media massa hampir tidak terlihat, ini memicu reaksi keras dari kalangan wartawan,” kata Rusdy.
Dia mengungkapkan, lemahnya sosialisasi KPUD menyebabkan target partisipasi pemilih yang ingin dinaikkan dari 60% menjadi 80% sulit tercapai. “Dengan anggaran sebesar itu, seharusnya informasi mengenai Pilkada dapat disebarluaskan secara maksimal kepada masyarakat,” ujarnya.
Rusdy juga menegaskan dugaan adanya monopoli media dalam sosialisasi Pilkada, di mana KPUD diduga hanya bekerja sama dengan satu media tertentu. “Keberagaman media sangat penting untuk memastikan informasi Pilkada tersebar secara luas dan merata. Sosialisasi tidak bisa hanya mengandalkan satu media saja, terutama jika media tersebut memiliki afiliasi politik,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rusdy mengingatkan bahwa jika terbukti ada monopoli media atau penyalahgunaan anggaran, KPUD Kota Depok dapat terjerat tindak pidana. “Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga menyangkut integritas dan kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu,” tegasnya.
Kurangnya kolaborasi antara KPUD dan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kota Depok juga menjadi sorotan. “Sosialisasi Pilkada seharusnya tidak hanya melalui media massa, tetapi juga melalui baliho, banner, dan media luar ruang lainnya. Namun, tanda-tanda sosialisasi dari KPUD tidak terlihat di jalan-jalan utama Kota Depok,” imbuhnya.
Dari berbagai pernyataan ini, jelas bahwa urgensi untuk melakukan sosialisasi yang efektif dan transparan menjadi tantangan tersendiri bagi KPUD Kota Depok. Dengan anggaran yang begitu besar, masyarakat berharap agar informasi terkait Pilkada dapat menjangkau semua kalangan, sehingga partisipasi pemilih dapat meningkat dan pemilihan umum berjalan dengan adil dan demokratis.*