Tribundepok.com— Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun Pelajaran 2025/2026 di Kota Depok kembali menuai sorotan. Tingginya animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Depok tidak berbanding lurus dengan kapasitas daya tampung yang disediakan pemerintah. Akibatnya, ribuan siswa terpaksa tersingkir dari sistem pendidikan formal, dan sebagian besar dari mereka terancam putus sekolah.
Ketua Gerakan Depok Bersatu (GEDOR) sekaligus Pembina Masyarakat Pemerhati dan Peduli Pendidikan Indonesia, Eman Sutriadi, menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi ini.
Menurutnya, dari total 13.408 pendaftar, hanya 10.396 murid yang dapat diterima di 34 SMPN yang tersebar di wilayah Kota Depok.
“Artinya, ada 3.012 anak yang tidak tertampung. Ini bukan sekadar angka, ini adalah potret krisis yang mengancam masa depan pendidikan kita,” ujar Eman saat diwawancarai di Depok,Rabu (11/6/2025).
Yang lebih mengkhawatirkan, menurut Eman, dari ribuan siswa yang tidak diterima tersebut, sekitar 30% di antaranya berpotensi menjadi korban putus sekolah. Penyebab utamanya adalah ketidakmampuan orang tua untuk membiayai sekolah swasta yang biayanya relatif lebih tinggi.
“Faktanya, tidak semua keluarga di Depok mampu membayar uang masuk dan iuran bulanan sekolah swasta. Padahal, konstitusi kita jelas menyatakan bahwa pendidikan dasar adalah hak setiap warga negara dan pembiayaannya ditanggung oleh negara,” tegas Eman, merujuk pada Pasal 31 UUD 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Menurutnya, kondisi ini mencerminkan adanya ketimpangan antara permintaan layanan pendidikan yang tinggi dan keterbatasan kapasitas pemerintah dalam menyediakan akses yang merata dan inklusif.
Eman juga menilai bahwa tingginya jumlah pendaftar SMP negeri menandakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sekolah negeri di Depok sangat tinggi. Namun kepercayaan itu bisa runtuh bila pemerintah tidak segera melakukan langkah nyata untuk menyelesaikan persoalan klasik ini.
“Kalau setiap tahun kejadian seperti ini terus berulang, maka Pemkot harus instrospeksi. Ini bukan hanya soal angka, tapi soal keadilan pendidikan,” tambahnya.
Menyikapi persoalan ini, GEDOR menyampaikan sejumlah solusi yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok agar masalah serupa tak terus berulang setiap tahunnya. Salah satunya adalah meningkatkan kuota penerimaan di sekolah negeri melalui pemanfaatan ruang kelas, penambahan shift belajar, atau pembangunan unit sekolah baru di kawasan padat penduduk.
Alternatif lainnya, menurut Eman, adalah memberikan subsidi biaya pendidikan di sekolah swasta bagi siswa tidak mampu yang gagal masuk sekolah negeri.
“Jika tak bisa ditampung di sekolah negeri, maka jangan biarkan mereka putus sekolah. Pemerintah harus hadir lewat skema subsidi untuk sekolah swasta. Itu bentuk konkret negara hadir dalam pendidikan,” ujarnya.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa sistem pendidikan di daerah urban seperti Depok masih belum mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat secara merata.
Eman Sutriadi berharap Pemkot Depok segera mengambil langkah strategis agar hak pendidikan anak-anak tidak dikorbankan karena keterbatasan teknis dan birokrasi.
“Pendidikan dasar itu hak konstitusional. Negara tidak boleh gagal memenuhinya, apalagi karena alasan kuota,” pungkas Eman. (ihsan)
Editor : Joko Warihnyo