tribundepok.com – Sepinya pengunjung di Pasar Tanah Abang membuat sejumlah pedagang dihadapkan pada situasi yang pelik. Bahkan, beberapa di antara mereka sampai harus ‘gulung tikar’ karena aktivitas jual beli yang kian menurun. Pakar Ekonomi Digital Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Ibrahim Kholilul Rohman, Ph.D., menyampaikan bahwa kondisi ini tidak hanya dialami oleh Pasar Tanah Abang saja, tetapi juga dialami hampir di semua sentra perdagangan retail Jakarta, seperti Glodok, Cipulir, Thamrin City, Ratu Plaza dan sebagainya. Menurutnya, faktor yang berpengaruh pada menurunnya aktivitas jual beli ini disebabkan oleh aspek demand (permintaan) dan aspek supply (penawaran) yang bekerja secara bersama-sama.
Dari sisi demand, Ibrahim mengatakan bahwa proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memang cenderung melemah. Proporsi konsumsi rumah tangga terhadap PDB pada pertengahan tahun 2023 adalah proporsi terendah dalam sepuluh tahun terakhir.
“Konsumen cenderung mengalami penurunan kemampuan daya beli yang bisa disebabkan oleh beberapa aspek, misalnya dampak krisis akibat Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih sehingga perekonomian pada grass root belum benar-benar rebounding. Masyarakat juga cenderung lebih berhati-hati (precaution), hal ini ditandai dengan peningkatan tabungan khususnya pada jumlah tabungan di bawah Rp 5 Milyar,” ujar Ibrahim Rabu ( 20/9/2023)
Sementara itu, dari sisi supply masuknya barang-barang impor dari luar negeri terutama dari China yang jauh lebih murah diperjualbelikan melalui platform digital, turut menyebabkan barang-barang yang dijual secara langsung seperti di pasar atau offline menjadi kurang bersaing dari sisi harga. Ibrahim mengatakan, secara umum masyarakat Indonesia memiliki pola permintaan yang price elastic. Hal ini dapat diartikan bahwa sedikit perubahan pada harga akan menyebabkan perubahan yang lebih besar pada kuantitas barang yang diminta.
Platform penjualan online menjadi lebih menarik bagi konsumen karena mudah didapat dan harga lebih murah. Terlebih, dalam platform tersebut juga didukung dengan ekosistem keuangan yang memudahkan konsumen dalam bertransaksi, seperti digital wallet, digital banking, fintech, peer-to-peer (P2P) lending, bahkan paylater yang memungkinkan orang membeli barang meskipun dalam kondisi tidak memiliki budget.
Lebih lanjut Ibrahim menyampaikan, digital platform umumnya memiliki network effect yang sangat besar. Didukung dengan pengguna yang banyak, personalized product bisa dilakukan sehingga konsumen mendapatkan apa yang diminta dengan harga yang sesuai dengan kemampuan.
“Pada ilmu ekonomi, hal ini disebut dengan 1st degree price discrimination di mana setiap pembeli dengan daya beli yang berbeda-beda dapat di-personalized kebutuhannya,” kata Ibrahim.
Di sisi lain, Ibrahim mengungkapkan bahwa selain kemudahan dan harga murah yang didapat dalam aktivitas jual beli online, dalam jangka panjang ada beberapa kemungkinan kerugian yang akan dialami konsumen. Seperti personalized product akan menggeser pembelian yang sifatnya wants menjadi needs. “Sehingga seakan-akan semua barang menjadi penting untuk dibeli. Ini akan menyebabkan unnecessary spending bagi masyarakat dengan kemampuan pendapatan yang sebenarnya terbatas,” kata Ibrahim.
Sebagai konsekuensi, hadirnya digital financial platform bisa menyebabkan masyarakat on the debt trap dengan bunga yang mahal jika gagal mengelola needs dan wants dengan bijaksana. Digital platform juga memiliki risiko terkait data security meskipun Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang perlindungan data pribadi (PDP).
Dengan adanya gempuran produk impor dari luar negeri, khususnya dari China dengan harga jauh lebih murah tentu menjadi tantangan yang berat. Dengan opsi yang terbatas, Ibrahim menyarankan ada baiknya bila para pedagang melakukan eksplorasi untuk shifting barang penjualan ke non-mass production yang mudah di substitusi dengan barang impor dari luar negeri dengan harga yang jauh lebih murah. Selain itu, mereka juga harus mempelajari manfaat digitalisasi terutama bagi penjualan mereka.
“Namun, masalah ini sebenarnya jauh lebih kompleks dari pada sekedar masalah digitalisasi. Dengan network effect yang kuat, platform digital umumnya memiliki kemampuan untuk menciptakan lock-in. Kondisi ini ditandai dengan ketergantungan baik pembeli dan penjual terhadap platform sehingga mereka tidak bisa keluar dari platform tersebut. Secara unilateral, platform bisa melakukan filtrasi jenis komoditas apa yang menjadi trending dalam platform sehingga inilah yang saat ini terjadi di TikTok Shop. Barang-barang dari China, seperti skincare akan selalu di-up sehingga menjadi barang yang paling laku dengan exposure yang tinggi,” ujar Ibrahim. “Platform seperti TikTok juga bisa melakukan pseudo ban (pelarangan produk tertentu namun tidak secara resmi) untuk mencegah barang-barang yang ‘tidak mereka kehendaki’ menjadi barang dengan exposure yang tinggi,” tambahnya.
Dalam menghadapi masalah ini, Ibrahim mengatakan bahwa mitigasinya harus didukung kebijakan pemerintah yang sifatnya regulatory impact assessment, seperti anticompetitive conduct yang dilakukan platform kepada produk-produk lokal. Selain itu, platform secara unilateral juga bisa melakukan vertical integration dengan preferred logistics pengantaran dan payment-praktik yang sebenarnya juga dilarang oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Platform juga harus melakukan net-neutrality dimana setiap produk diberikan akses yang sama untuk di-up. Kata Ibrahim, salah satu yang menjadi win-win solution untuk produk yang sama dibagi menjadi dua kelompok yang terpisah, yaitu local products dan imported products sehingga pembeli mendapatkan pilihan.
“Tanpa ada upaya yang sistematis dari pemerintah, digital platform alih-alih menjadi lokomotif pemberdayaan dan kemajuan lokal konten, justru akan secara pelan-pelan membunuh produk-produk kita,” kata Ibrahim yang juga merupakan salah seorang dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI dan Senior Economist di Indonesia Financial Group (IFG). ( Ayu )