tribundepok.com – Manusia satu dimensi atau “One Dimensional Man” adalah satu judul dari banyak karya pemikir khususnya kontemporer yang dapat ditemukan di setiap rak buku, baik toko, pameran, atau perpustakaan-perpustakaan yang menyajikan Kategori Pemikiran atau Filsafat.
Tidak banyak yang tahu, terlebih mengerti maksud sebenarnya dari buku dengan judul redaksi menggelitik tersebut. Sekedar membincang manusia, buku yang menjadi bahan rujukan banyak para pengkaji filsafat dan persoalan manusia kontemporer tersebut beranjak dari kondisi yang bahkan dapat ditemukan dalam berbagai kenyataan sehari-hari.
Lantaran persoalan berkaitan hal-hal yang pada umumnya katakanlah dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, penulis menjadi teringat pada suatu pengalaman dengan seorang rekan, ketika berhadapan dengan kenyataan harus memilih, apakah menjadi bagian dari penempuh jalan atau pengikut orang-orang dalam pola-pola yang telah terbentuk.
Begini, pilihan tersebut adalah nyata menjadi pilihan ketika terdapat konsekuensi yang harus diambil dalam memilih jalan. Apakah menjadi pengusaha misalnya dengan meninggalkan berbagai kebaikan yang dapat ditemukan di jalan yang diabaikan.
Tidak harus senantiasa identik tertutup, memilih satu jalan dengan berbagai konsekuensinya menjadi terasa berat tatkala dihadapkan pada rumusan-rumusan dalam menjalani hidup, terlebih terdapat kemungkinan diperlukan rumusan untuk jalan yang akan ditempuh.
Dikatakan setengah dimensi, manusia memilih satu jalan dan senantiasa dengan jalan itu ketika menutup diri dari kemungkinan kebaikan yang ada di luar jalan yang dipilihnya tersebut.
Konsekuensi berupa sikap abai lambat laun dapat mengikis keutuhannya sebagai pribadi dengan fitrahnya sebagai manusia.
Pada saat yang sama terdapat usaha berupa pemulihan dan pengembangan diri di jalan tersebut berupa wawasan, keterampilan, dan ilmu.
Kondisi di mana manusia dituntut sedemikian rupa oleh dunia, baik kerja, pergaulan sosial, bahkan amalan berhubungan dengan ibadah dapat menjadikan manusia lalai dan jika berkelanjutan menjadi apa yang disebut penulis dengan setengah manusia. Manusia alfa dengan dirinya sendiri.
Jika di era awal lahirnya industri di Eropa ditenggarai dapat menghasilkan cara hidup manusia yang bermasalah, bahkan ada yang menyebutkan istilah patologi yang berarti ketidaknormalan, artinya ada ketidaknormalan dalam pola atau cara manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari di situ kala itu. Ada masalah kemanusiaan dalam diri manusia dan dalam kehidupan manusia.
Patologi atau ketidaknormalan tidak hanya pada manusia sebagai pribadi atau individu. Umumnya dihubungkan dengan kondisi sosial atau masyarakat. Istilahnya disebut dengan masyarakat patologis.
Panjang lebar bahasan filsafat atau pemikiran secara umum sejatinya berkutat pada perumusan konseptual.
Jika dalam analisa internal filsafat, khususnya era kontemporer umumnya mengkerucutkan pembahasan atau diskursus filsafat baik pembahasan mengenai manusia, atau realita, bahkan topik yang berkaitan dengan hakikat yaitu pada bahasa; permainan, atomisme atau logika sejatinya tentang bahasa.
Jika sudah begitu, dunia filsafat mendapat gambarannya dalam pandangan masyarakat. Kerumitan, kemanfaatan juga posisi filsafat mendapatkan kejernihannya.
Menelisik makna filsafat yang berarti cinta kebijaksanaan, terdiri di antaranya dari kata “sophos” atau “sophie” dalam bahasa Yunani berarti bijaksana atau ilmu pengetahuan. “shofi” sendiri jika diartikan dari Bahasa Arab berarti murni, tepatlah sudah istilah tersebut jika dikembalikan dengan makna-makna asalnya.
Nah, untuk kembali sebagaimana yang diistilahkan penulis pada paragraf sebelumnya dengan pemulihan, sebenarnya dengan cara kembali ke fitrah atau kesejatiannya manusia agar tidak kadung jauh atau menjadi manusia dengan pengertian setengah dimensi sesungguhnya. Meninggalkan sesuatu yang dapat membawa modlarat dan sia-sia dengan kembali ke “semula”, akan lebih menjadi bermanfaat, inshaaAllah.*
Penulis : Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.