tribundepok.com – Suasana Gedung Dewan Pers, tepatnya di lantai 4, Kamis (26/9), berubah tegang ketika mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Atal S. Depari, mendapati dirinya tidak diizinkan masuk ke kantor yang pernah ia pimpin dengan penuh dedikasi selama lima tahun. Atal yang datang untuk menghadiri acara Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) sempat ingin bernostalgia, mengunjungi kantor PWI yang menyimpan banyak kenangan dalam perjalanan kariernya. Namun, apa yang ia temui jauh dari ekspektasi.
“Saya hanya ingin melihat suasana kantor dan sekretariat PWI, tapi dilarang masuk oleh Dadang Rahmat,” ungkap Atal dengan nada kecewa. Niat sederhana untuk sekadar melepas rindu berubah menjadi pengalaman yang penuh kejutan. Setibanya di lantai 4, ia mendapati pintu utama kantor PWI terkunci rapat, seakan menjadi simbol dari batasan yang kini memisahkannya dari ruang yang dulu menjadi saksi dari kepemimpinannya.
Tidak ingin menyerah begitu saja, Atal berusaha mengakses ruang sekretariat. Namun, upayanya kembali terhalang karena pintu tersebut juga terkunci. “Terkunci ruang utama, saya ke ruang sekretariat, yang ternyata juga sudah dikunci,” tambahnya, menggambarkan situasi yang semakin memperkuat kesan ketegangan di dalam tubuh PWI.
Di tengah suasana yang serba dingin ini, ada sedikit celah ketika seorang anggota sekretariat mengambil inisiatif untuk membuka pintu. Meskipun pintu utama tetap tertutup, Atal masih mendapatkan sedikit akses ke bagian kecil dari kantor yang penuh kenangan baginya.
Namun, suasana semakin memanas ketika Dadang Rahmat menyampaikan bahwa perintah untuk mengunci pintu datang langsung dari Sekretaris Jenderal PWI Pusat, Iqbal Irsad. Hal ini menandakan adanya perubahan besar di dalam organisasi, di mana Atal, yang dulu memiliki kuasa penuh, kini tidak lagi bisa bebas mengakses tempat yang pernah ia pimpin.
Di sisi lain, penerus Atal, Hendry Ch. Bangun, baru-baru ini diberhentikan secara resmi dari keanggotaan PWI oleh Dewan Kehormatan PWI Pusat. Pemberhentian ini dilakukan atas dasar pelanggaran terhadap Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD-PRT) PWI, organisasi wartawan tertua di Indonesia. Ketegangan internal yang kian memanas ini menambah beban emosional bagi Atal, yang seharusnya bisa menikmati masa-masa pascakepemimpinannya dengan tenang.
Penolakan yang dialami Atal menggambarkan dengan jelas betapa mendalamnya konflik yang kini melanda PWI Pusat. Sebuah momen sederhana, yang seharusnya penuh nostalgia, berubah menjadi simbol dari ketegangan internal yang terus membayangi salah satu organisasi wartawan terbesar di Indonesia. Di balik pintu yang terkunci, tersimpan cerita tentang dinamika kekuasaan dan perubahan besar yang sedang berlangsung di tubuh PWI.
Momen ini menjadi pengingat akan betapa cepatnya situasi dapat berubah dalam sebuah organisasi, di mana seseorang yang dulu berada di puncak kepemimpinan kini harus menghadapi batasan yang membuatnya terasing dari ruang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya.( JW )