tribundepok.com – Awal pekan ini menjadi babak baru dalam perjalanan hukum Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus suap yang melibatkan Harun Masiku, buronan kelas kakap yang telah menjadi “hantu” dalam daftar pencarian orang sejak 2020. Pernyataan ini dikonfirmasi Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto. “Sabar, segera,” ujarnya saat dikonfirmasi Selasa, 24 Desember 2024.
Berdasarkan surat nomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tertanggal 23 Desember 2024, Hasto diduga kuat terlibat dalam aliran dana yang ditujukan untuk meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui pergantian antar waktu (PAW). Kasus ini kembali membuka luka lama skandal korupsi yang sempat mengguncang Indonesia pada awal 2020.
Awal Mula Skandal Harun Masiku
Skandal ini berakar dari sengketa internal PDIP terkait penggantian Nazarudin Kiemas, caleg DPR RI dari Sumatera Selatan I yang meninggal dunia pada 2019. Atas perintah Hasto, tim hukum PDIP menggugat Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA). Gugatan itu dimenangkan sebagian, memberikan wewenang kepada partai untuk menentukan pengganti Nazarudin. Namun, keputusan PDIP menunjuk Harun Masiku sebagai pengganti memicu polemik, karena Harun hanya menempati urutan kelima suara terbanyak.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Riezky Aprilia, yang berada di urutan kedua, sebagai pengganti Nazarudin. Tidak puas dengan keputusan ini, Hasto diduga memerintahkan stafnya, Saeful Bahri, untuk melobi KPU. Saeful kemudian bekerja sama dengan Agustiani Tio Fridelina Sitorus, orang kepercayaan Wahyu Setiawan, mantan Komisioner KPU.
“Siap Mainkan” dan Aliran Uang Suap
Dalam komunikasi yang terungkap, Wahyu meminta dana sebesar Rp 900 juta untuk “melancarkan” permintaan tersebut. Saeful melaporkan permintaan itu kepada Hasto, yang diduga menyetujui penyediaan dana sebesar Rp 1,5 miliar. Sebagian dana tersebut, senilai Rp 400 juta, diserahkan oleh ajudan Hasto kepada Donny Tri Istiqomah, pengacara PDIP, di kantor DPP PDIP pada 16 Desember 2019.
Skema suap ini terkuak dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada awal Januari 2020. Namun, Harun Masiku berhasil melarikan diri dan hingga kini belum ditemukan. Nama Hasto juga mencuat dalam berbagai laporan investigasi, termasuk Majalah Tempo, yang mendalami peran aktifnya dalam upaya meloloskan Harun.
Drama di Kompleks PTIK dan Gangguan Operasi Senyap
Pada 8 Januari 2020, operasi senyap KPK yang membidik Hasto dan Harun gagal total. Tim penyelidik KPK dicegat oleh petugas keamanan di kompleks PTIK, tempat kedua target diduga berada. Bahkan, penyelidik sempat ditahan selama tujuh jam, mengundang kritik keras terhadap intervensi pihak tertentu dalam kasus ini.
Hasto membantah semua tuduhan. Ia menyebut laporan yang mengaitkan dirinya sebagai framing untuk menjatuhkan nama baik PDIP. “Ini bentuk framing untuk kepentingan tertentu,” ujar Hasto dalam Rakernas PDIP pada 10 Januari 2020.
Babak Baru: Hasto Jadi Tersangka
Meski sempat surut, kasus ini kembali mencuat setelah KPK mengumpulkan bukti baru, termasuk aliran dana, dokumen internal PDIP, dan kesaksian beberapa pihak terkait. Penetapan Hasto sebagai tersangka menjadi sinyal bahwa KPK terus mengejar pihak-pihak yang terlibat, meski kasus ini sempat terhambat oleh berbagai polemik dan tekanan politik.
Reaksi Publik dan Dampak Politik
Penetapan Hasto sebagai tersangka menuai sorotan publik. Banyak pihak menilai langkah ini sebagai ujian besar bagi PDIP, partai yang selama ini menjadi tulang punggung pemerintahan. Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, menyatakan pihaknya menghormati proses hukum, namun menegaskan perlunya bukti yang kuat.
Bagi KPK, kasus ini menjadi momen penting untuk mengembalikan kepercayaan publik. Dengan status Harun Masiku yang masih buron, penetapan tersangka terhadap Hasto diharapkan membuka jalan bagi penuntasan skandal ini.
Desember 2024 menjadi bulan kelabu, tidak hanya bagi Hasto Kristiyanto, tetapi juga bagi PDI Perjuangan yang menghadapi tantangan besar untuk menjaga integritasnya di mata publik.***