google-site-verification=Q8IqhJlJ-8kubb5NQVbJk3WGTzny8GJUwXqKF5Nb4Nk
BerandaNasionalAkademisi Unsoed Desak DPR: Tolak RUU Penyiaran yang Dinilai...
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Akademisi Unsoed Desak DPR: Tolak RUU Penyiaran yang Dinilai Ancam Kebebasan Pers

tribundepok.com–Dr. Edi Santoso, seorang akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), menegaskan pentingnya bagi DPR RI untuk mendengarkan suara insan pers dan masyarakat terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang dianggap dapat mengancam kebebasan pers.

Dalam pernyataannya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (14/5/2024), Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Unsoed itu mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dua isu krusial dalam RUU tersebut.

“Saya kira ada dua isu yang paling krusial dalam RUU Penyiaran ini. Yang pertama, soal penyelesaian sengketa seperti yang ada dalam Pasal 8A, kemudian soal penayangan investigasi secara eksklusif di televisi seperti yang tertuang dalam Pasal 50B Ayat 2 huruf c,” kata Dr. Edi.dikutip dari Kantor Berita Antara Selasa (14/5/2024)

Terkait penyelesaian sengketa, Dr. Edi menegaskan bahwa Dewan Pers adalah lembaga yang paling tepat untuk menangani sengketa pemberitaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurutnya, aturan yang ada sudah memadai dan UU Pers bersifat lex specialis karena secara khusus mengatur masalah pers.

“Dewan Pers memiliki independensi yang lebih kuat dan mewakili banyak kalangan dibandingkan dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang prosesnya lebih kental dengan aspek politis karena berada di bawah pengaruh DPR RI,” jelasnya.

Dr. Edi khawatir, apabila penyelesaian sengketa pemberitaan diserahkan kepada KPI, intervensi politik akan sulit dihindari. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa pasal mengenai penyelesaian sengketa dalam draf RUU Penyiaran harus ditolak.

Isu kedua yang disoroti Dr. Edi adalah larangan penayangan liputan investigasi secara eksklusif di televisi sebagaimana tertuang dalam Pasal 50B Ayat 2. Ia berpendapat bahwa alasan DPR dan KPI untuk menghindari monopoli tidak cukup kuat dan lebih penting bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang bersifat kontrol sosial.

“Media penyiaran adalah pilar keempat dalam demokrasi dan menggunakan ranah publik berupa frekuensi siaran. Tanggung jawab utamanya adalah kepada publik, bukan kepada pemodal atau kepentingan politik,” tegasnya.

Dr. Edi menekankan bahwa karena media penyiaran menggunakan ranah publik, kepentingan publik harus diutamakan dibandingkan kepentingan lainnya. Media penyiaran harus diberikan ruang untuk menyajikan liputan-liputan berkelas yang dapat berfungsi sebagai alat kontrol sosial.

“Dengan adanya larangan ini, kita justru menghilangkan penyeimbang terhadap fenomena media yang seragam dalam isi berita. Jika ada pelanggaran etik, kita sudah punya jalur penyelesaian melalui UU Pers,” ujarnya.

Mengenai kisruh RUU Penyiaran, Dr. Edi menyatakan bahwa tekanan kepada DPR RI harus diperkuat. Ia mengingatkan bahwa beberapa undang-undang krusial seperti UU Cipta Kerja dan UU Kesehatan lolos tanpa perdebatan yang mendalam dan tanpa melibatkan publik secara cukup.

“Jangan sampai hal ini terjadi lagi. Kita harus memastikan bahwa regulasi yang mengatur kepentingan publik diputuskan dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat,” tegasnya.

Dr. Edi mengapresiasi upaya insan pers yang mengangkat isu ini dan mendesak adanya penggalangan petisi agar DPR RI mendengar bahwa publik menolak pembatasan kebebasan pers.

“DPR harus mendengarkan suara masyarakat dan insan pers terkait dengan RUU Penyiaran ini. Jangan sampai peraturan yang mengatur kepentingan publik diputuskan secara sepihak oleh elite politik tanpa mempertimbangkan aspirasi publik,” pungkasnya.*

spot_imgspot_imgspot_img
tribun depok
tribun depokhttp://tribundepok.com
tribundepok.com - faktual update
tribundepok.com