tribundepok.com– Wajah Depok kembali tercoreng oleh maraknya peredaran obat keras yang dijual bebas di tengah masyarakat. Namun kali ini, Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Depok mengambil langkah tegas. Sebuah operasi besar-besaran yang berlangsung selama Maret hingga April 2025 berhasil menggulung jaringan penjualan obat daftar G yang selama ini meresahkan warga.
Tak tanggung-tanggung, sebanyak 43.215 butir obat keras berbagai merek berhasil disita, dan 27 orang tersangka diamankan dari sejumlah kecamatan di wilayah hukum Polres Metro Depok.
Kasatresnarkoba Polres Metro Depok, Komisaris Yefta Ruben Hasian Aruan, mengungkapkan bahwa pengungkapan kasus ini dimulai dari laporan masyarakat. Kecurigaan warga terhadap aktivitas mencurigakan di sejumlah toko kelontong menjadi pintu masuk penggerebekan.
“Kami menerima informasi dari warga tentang penjualan obat daftar G di beberapa lokasi. Dari laporan itu, tim kami langsung bergerak melakukan pengintaian dan penggerebekan secara bertahap,” ujar Yefta saat memberikan keterangan kepada wartawan.
Dari operasi yang dilakukan di delapan kecamatan Cipayung, Pancoran Mas, Sukmajaya, Beji, Cilodong, Bojongsari, Cinere, Tapos, dan Sawangan sebanyak 27 pelaku ditangkap. Menariknya, sebagian besar dari mereka bukan warga asli Depok.
“Mereka umumnya adalah pekerja lepas atau buruh dari luar Depok. Peran mereka sejauh ini sebagai penjual. Untuk jaringan pemasok atau distributor, masih dalam penyelidikan,” tambahnya.
Modus para tersangka pun cukup licik. Beberapa menjajakan obat-obatan keras itu melalui toko kelontong yang tampak biasa saja. Ada pula yang beroperasi secara mobile, menawarkan barang melalui aplikasi WhatsApp dan menyepakati transaksi dengan sistem Cash on Delivery (COD) di titik-titik nongkrong atau jalanan.
“Sebagian toko itu berkamuflase sebagai warung sembako biasa. Tapi ketika digeledah, kami menemukan tumpukan obat keras. Ada juga yang hanya menunggu di pinggir jalan, lalu pembeli datang sendiri ke lokasi,” jelas Yefta.
Lebih mencemaskan, mayoritas pembeli obat-obatan ini adalah remaja dan pelajar. Obat seperti Tramadol dan sejenisnya dijual seolah-olah permen penghilang stres, padahal kandungannya bisa menyebabkan kecanduan bahkan gangguan mental dan organ tubuh.
“Rata-rata konsumen adalah anak muda yang nongkrong. Ini sangat mengkhawatirkan. Obat keras itu disalahgunakan untuk mendapatkan efek tenang atau fly, padahal sangat berbahaya jika dikonsumsi tanpa pengawasan medis,” tegasnya.
Dari hasil penjualan, para tersangka bisa meraup keuntungan kotor antara Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta per hari. Namun kesenangan sesaat itu kini berubah menjadi mimpi buruk. Para pelaku kini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di balik jeruji besi.
“Mereka kami jerat dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 435 dan 436. Ancaman hukumannya mulai dari 5 hingga 12 tahun penjara,” tegas Yefta.
Pengungkapan ini menjadi peringatan keras bahwa peredaran obat ilegal di Depok belum berakhir. Polres Metro Depok pun meminta partisipasi aktif warga untuk ikut serta dalam pengawasan lingkungan sekitar.
“Kami harap masyarakat tak segan melapor jika melihat aktivitas mencurigakan. Peredaran obat-obatan terlarang bukan hanya tugas polisi untuk memberantas, tapi tanggung jawab bersama,” tutup Yefta.
Dengan penggerebekan ini, satu jaringan berhasil dilumpuhkan. Namun perjuangan belum selesai. Perang melawan peredaran gelap obat keras masih panjang, dan Depok harus terus waspada.***
Editor : Joko Warihnyo