tribundepok.com – Kasus dugaan rekayasa pencabulan yang menyeret nama anggota DPRD Depok, RK, terus menuai kontroversi dan menjadi perhatian publik. Polemik semakin meluas setelah media Independen Media menyiarkan hasil konferensi pers yang justru mengungkap identitas anak korban.
Praktisi hukum dan akademisi, DR (c) Tatang, S.E., S.H., M.H., CPL., CPM., menyoroti persoalan ini sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap etika jurnalistik dan perlindungan hak anak. Menurutnya, penyebutan identitas korban, terutama anak di bawah umur, dalam sebuah pemberitaan tidak hanya melanggar kode etik jurnalistik tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak hukum bagi media yang bersangkutan.
“Isu ini semakin viral setelah konferensi pers digelar pada 4 Januari 2025 di Kantor PWI Kota Depok. Yang menjadi perhatian utama bukan hanya substansi kasusnya, tetapi juga bagaimana media menayangkan informasi yang seharusnya dirahasiakan demi melindungi korban,” ujar Tatang dalam keterangan pers nya Kamis (6/2/2025).
Dalam konferensi pers tersebut, hadir terduga pelaku beserta istri dan kuasa hukumnya, ibu dari korban berinisial A, serta sejumlah awak media. Namun, yang memicu polemik adalah siaran Independen Media yang menampilkan wawancara dengan ibu korban, di mana nama anak serta asal sekolahnya disebutkan secara gamblang dalam video berdurasi tujuh menit.
“Kami menemukan bahwa penyebutan nama korban terjadi pada menit ke 2:05 dan 2:08, sementara informasi mengenai sekolah korban disebutkan pada menit ke 3:42. Ini jelas melanggar prinsip perlindungan anak dalam pemberitaan,” tegas Tatang.
Dalam dunia jurnalistik, prinsip perlindungan terhadap identitas anak yang terlibat dalam kasus hukum merupakan aturan baku. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), serta Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA).
Pasal 5 KEJ secara eksplisit menegaskan bahwa “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Pernyataan ini diperkuat dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) Nomor 11 Tahun 2012, yang mewajibkan media untuk merahasiakan identitas anak baik sebagai korban, pelaku, maupun saksi.
Bahkan, dalam Pasal 19 UU SPPA, disebutkan bahwa identitas anak yang berhadapan dengan hukum harus dilindungi, mencakup nama, wajah, alamat, nama orang tua, dan informasi lain yang dapat mengungkap jati diri anak.
“Apabila aturan ini dilanggar, maka bisa berujung pada konsekuensi pidana. Pasal 97 UU SPPA menyatakan bahwa pihak yang menyebarkan identitas anak dapat dikenai hukuman penjara maksimal lima tahun atau denda hingga Rp500 juta,” jelas Tatang.
Selain aspek hukum, Tatang juga menyoroti dampak psikologis yang dapat dialami oleh anak korban akibat penyebaran identitasnya.
“Eksposur semacam ini dapat menyebabkan trauma berkepanjangan bagi korban dan keluarganya. Anak yang identitasnya tersebar berisiko mengalami stigma sosial, perundungan (bullying), bahkan tekanan psikologis yang berdampak pada perkembangan mentalnya,” katanya.
Menurutnya, kondisi ini bertentangan dengan semangat Kota Depok sebagai ‘Kota Ramah Anak’. Sebab, alih-alih memberikan perlindungan, justru anak korban kasus hukum terekspos ke publik akibat kelalaian media.
“Kita tidak bisa hanya berbicara soal regulasi, tetapi juga soal moral dan etika dalam pemberitaan. Seharusnya, media berperan dalam melindungi, bukan malah memperburuk keadaan dengan mengungkap identitas anak korban kejahatan,” tambahnya.
Kontroversi ini memicu perdebatan mengenai sejauh mana tanggung jawab media dalam menjaga etika jurnalistik. Tatang menilai, kasus ini harus menjadi perhatian serius bagi Dewan Pers serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk menegakkan aturan dan memberikan sanksi kepada media yang terbukti melakukan pelanggaran.
“Independen Media berpotensi dijerat dengan pasal dalam UU SPPA. Jika laporan ini diproses, mereka bisa menghadapi tuntutan pidana. Ini harus menjadi peringatan bagi media lain agar lebih berhati-hati dalam menyajikan berita, terutama yang berkaitan dengan anak-anak,” tegasnya.
Menurut Tatang, kasus ini bukan hanya soal hukum semata, tetapi juga soal tanggung jawab moral insan pers dalam memberitakan peristiwa yang melibatkan anak di bawah umur.
“Dewan Pers harus mengambil sikap tegas. Media yang lalai harus diberi sanksi, baik berupa teguran keras maupun sanksi hukum jika diperlukan, agar kejadian serupa tidak terulang kembali,” ucapnya.
Kasus dugaan rekayasa pencabulan ini tidak hanya menimbulkan polemik hukum bagi pihak yang terlibat, tetapi juga membuka mata publik tentang pentingnya menjaga etika jurnalistik.
“Media memiliki peran besar dalam membentuk opini publik, tetapi di saat yang sama, mereka juga punya tanggung jawab untuk melindungi hak individu, terutama anak-anak. Kebebasan pers tidak boleh mengabaikan prinsip perlindungan anak,” ujar Tatang.
Ia berharap kasus ini bisa menjadi pembelajaran bagi semua pihak pemerintah, lembaga pers, hingga masyarakat agar lebih kritis dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi.
“Kita semua bertanggung jawab untuk memastikan bahwa hak anak dilindungi, baik dalam sistem hukum maupun dalam pemberitaan media,” pungkasnya.
Sebagai kota yang mengusung slogan “Kota Ramah Anak”, Depok harus memastikan bahwa semua elemen, termasuk media, dapat bersinergi dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.(***)