tribundepok.com— Keputusan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang memerintahkan personel TNI untuk melakukan pengamanan terhadap kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia menuai respons beragam dari publik. Kebijakan ini menambah daftar kontroversi di tubuh militer, setelah sebelumnya muncul polemik seputar mutasi perwira yang kemudian direvisi.
Pengamat politik dari Motion Cipta (MC) Matrix, Wildan Hakim, menyebut langkah tersebut berisiko memicu kegaduhan di ruang publik dan menimbulkan tanda tanya soal peran dan batasan kewenangan TNI dalam konteks sipil.
“Setelah polemik mutasi perwira, kini muncul kebijakan penjagaan kantor Kejaksaan. Ini membuat publik bertanya-tanya arah kebijakan TNI. Kenapa harus Kejaksaan? Kenapa bukan Polri yang bertanggung jawab atas pengamanan?” kata Wildan dalam keterangannya, Selasa (13/5/2025).
Potensi Tumpang Tindih Kewenangan
Wildan menyoroti bahwa secara normatif, tugas menjaga ketertiban dan keamanan dalam negeri merupakan domain Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Ia menyebut, meskipun ada ruang dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang memungkinkan keterlibatan militer dalam operasi militer selain perang (OMSP), keterlibatan tersebut bersifat terbatas dan harus dengan pertimbangan khusus.
“Memang ada Pasal 7 dalam UU TNI yang menyebutkan TNI dapat membantu tugas Polri. Tapi bantuan itu harus melalui prosedur tertentu dan dibatasi oleh kebutuhan yang jelas. Apakah saat ini ada kondisi darurat yang membenarkan TNI berjaga di Kejaksaan?” ujarnya mempertanyakan.
Wildan yang juga dosen Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia ini menilai, langkah tersebut justru dapat mengikis citra netral TNI yang selama ini dijaga dalam sistem demokrasi. Menurutnya, jika alasan keamanan atau kerawanan tidak dikomunikasikan secara transparan kepada publik, maka persepsi negatif akan tumbuh dan mencederai institusi.
Objek Vital atau Pusat Kekuasaan?
Salah satu dalih yang mungkin digunakan untuk membenarkan kehadiran TNI di kantor-kantor Kejaksaan adalah status sebagai objek vital nasional. Namun Wildan meragukan apakah Kejaksaan bisa dikategorikan setara dengan instalasi penting seperti pembangkit listrik, tambang strategis, atau kedutaan besar negara sahabat.
“Objek vital strategis memiliki kriteria yang sangat spesifik. Apakah kantor Kejaksaan Negeri di sebuah kota kecil masuk kategori itu? Dan jika iya, apa indikator ancaman aktual yang membuatnya perlu dijaga oleh militer?” tuturnya.
Ia menambahkan, tanpa dasar yang kuat, keputusan tersebut rentan dianggap sebagai bentuk pengaruh kekuasaan di luar tupoksi militer. Terlebih, Kejaksaan merupakan bagian dari lembaga penegak hukum yang seharusnya bekerja secara independen dan tidak perlu mendapatkan perlindungan khusus kecuali dalam keadaan darurat.
TNI di Persimpangan Peran
Keputusan ini, kata Wildan, menjadi refleksi atas kebutuhan untuk terus mengkaji ulang batas-batas peran militer dalam negara demokrasi. Ia menegaskan pentingnya menjaga jarak TNI dari institusi sipil yang bisa menimbulkan tafsir politis.
“Netralitas TNI sangat penting. Jika terlalu sering masuk ke ranah sipil tanpa urgensi, bisa menggerus kepercayaan publik,” katanya.
Wildan menyarankan agar Panglima TNI mengevaluasi kembali kebijakan tersebut dan membuka dialog dengan berbagai pihak, termasuk Komnas HAM, DPR, dan LSM pengawas sektor keamanan, agar tidak menciptakan preseden yang salah dalam pelibatan militer di wilayah sipil.
“Langkah paling bijak saat ini adalah membatalkan perintah tersebut dan menyerahkan pengamanan Kejaksaan kembali kepada Polri, sambil mengkaji ulang pendekatan koordinatif yang lebih tepat,” pungkas Wildan.***
Editor : Joko Warihnyo