tribundepok.com — Suasana di depan SMP Negeri 3 Depok, Jumat siang (23/5/2025), berubah menjadi panggung protes. Ratusan siswa dan alumni memadati halaman dan bahu jalan di Jl. Barito Raya No.3, Depok II Timur, membawa poster dan menyuarakan kemarahan atas dugaan kasus pelecehan seksual yang menyeret nama seorang oknum guru di sekolah tersebut.
Aksi massa ini menjadi luapan emosi yang sudah lama terpendam. Dengan seragam sekolah yang masih melekat dan semangat solidaritas yang membara, para siswa menyuarakan kekecewaan mereka terhadap pihak sekolah yang dinilai tidak transparan dan cenderung menutupi kasus yang telah mencoreng nama baik institusi pendidikan tersebut.
“Kami malu, kami kecewa!” teriak seorang alumni perempuan sambil mengacungkan poster bertuliskan “Cancel Culture”. Suaranya bergetar, menandakan bahwa amarah yang dibawanya bukan sekadar untuk sensasi, tetapi karena rasa terluka yang mendalam.
Demo ini dipicu oleh dugaan tindak asusila yang dilakukan oleh seorang guru kepada siswinya sendiri seorang anak di bawah umur. Peristiwa itu terjadi pada Maret 2025, bertepatan dengan kegiatan pesantren kilat di bulan Ramadan.
Dalam laporan yang diterima pihak kepolisian, guru tersebut dilaporkan telah menyentuh bagian tubuh sensitif korban. Tak hanya itu, korban yang merasa terancam dan telah beberapa kali digoda secara tidak pantas, diam-diam merekam suara pelaku menggunakan ponsel miliknya sebagai bukti.
Salah satu alumni dalam aksi tersebut bahkan menyerukan agar Gubernur Jawa Barat turut turun tangan menyelesaikan persoalan ini.
“Pak Dedi tolong bantu kami! Ini menyangkut harga diri sekolah dan keselamatan adik-adik kami!” teriaknya lantang.
Sementara itu, para siswa meneriakkan tuntutan agar oknum guru tersebut dihukum seberat-beratnya. Mereka mendesak Pemerintah Kota Depok dan Dinas Pendidikan untuk tidak memberikan ruang sedikit pun kepada pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
“Kami tidak mau sekolah ini jadi tempat trauma. Kami ingin aman, kami ingin belajar tanpa rasa takut!” seru salah seorang siswa dari kelas 9.
Sayangnya, aksi yang berlangsung damai itu harus dihentikan lebih cepat setelah petugas kepolisian yang tiba di lokasi memberikan teguran karena aksi dilakukan tanpa pemberitahuan resmi.
Meski begitu, semangat dan pesan dari para demonstran sudah terlanjur menggema dan menyebar melalui media sosial, menjadi viral dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat.
Terpisah, pada Kamis (22/5/2025), orang tua korban resmi melaporkan kejadian ini ke Polres Metro Depok. Proses hukum kini sedang berjalan, dan penyidik telah mulai memeriksa bukti serta keterangan yang ada.
Dugaan tindak asusila ini menjadi pukulan telak bagi wajah pendidikan di Depok. SMPN 3 Depok, yang selama ini dikenal sebagai sekolah favorit dan berprestasi, kini harus menghadapi badai kepercayaan dari masyarakat yang mempertanyakan integritas serta sistem pengawasan internal sekolah.
Pihak Dinas Pendidikan Kota Depok telah menyatakan tengah melakukan pemeriksaan terhadap kepala sekolah dan guru terlapor, serta menonaktifkan yang bersangkutan dari seluruh kegiatan belajar mengajar. Kepala Dinas Pendidikan, Siti Chaerijah Aurijah, menyebut tidak akan ada toleransi terhadap segala bentuk kekerasan atau pelecehan di lingkungan pendidikan.
Lebih jauh, kasus ini telah memantik desakan agar sistem perlindungan anak di sekolah diperkuat. Banyak pihak berharap agar tragedi ini menjadi titik balik reformasi budaya sekolah yang lebih transparan, aman, dan berpihak pada peserta didik.
Kini, bola panas berada di tangan pemerintah dan penegak hukum. Publik menanti, bukan hanya proses hukum yang tegas, tapi juga perubahan nyata dalam sistem pendidikan yang menjamin keselamatan anak-anak sebagai prioritas utama.***
Editor : Joko Warihnyo