tribundepok.com – Pengadilan Negeri Depok kembali menggelar sidang kasus Yusra Amir dengan agenda pemeriksaan saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam sidang tersebut, hadir saksi ahli Dr. Anis Rifai, S.H., M.H., seorang dosen hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia.
Sidang yang berlangsung pada Senin (20/05/2024) ini menitikberatkan pada pemaparan Dr. Anis Rifai mengenai unsur-unsur pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang mencakup tindakan untuk menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain melalui penggunaan nama palsu, identitas palsu, keadaan palsu, tipu muslihat, dan rangkaian kebohongan.
Dalam kesaksiannya, Dr. Anis menjelaskan bahwa suatu kesepakatan bisa dianggap sebagai tindakan pidana jika sejak awal disampaikan dengan tidak benar.
Sebaliknya, kesepakatan dapat dianggap sebagai hukum perdata jika sejak awal disampaikan dengan benar tetapi ada keadaan tertentu yang menyebabkan kesepakatan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
JPU berusaha membuktikan bahwa tindakan Yusra Amir merupakan pelanggaran hukum pidana dengan menekankan pada unsur tipu muslihat dan rangkaian kebohongan, serta pelanggaran kesepakatan dengan mengalihkan sertifikat kepada pihak lain. Namun, Dr. Anis menyatakan bahwa tindakan tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai wanprestasi, bukan pelanggaran pidana.
Tim kuasa hukum Yusra Amir yang terdiri dari Udin Wibowo, S.H., dan Mathilda, S.H., menyambut positif kesaksian dari Dr. Anis. Usai sidang, Udin Wibowo mengungkapkan kepuasannya terhadap jalannya pemeriksaan saksi ahli. Ia merasa keterangan saksi ahli menguntungkan pihak kliennya, karena ahli menjelaskan bahwa kasus ini adalah perkara perdata. “Kami sangat puas dengan sidang kali ini,” ujar Udin Wibowo pada Wartawan Senin (20/5).
Ia menegaskan bahwa perjanjian yang awalnya sah ini tidak mengandung unsur tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau identitas palsu.
Mathilda, salah satu kuasa hukum Yusra lainnya, menambahkan bahwa dalam ilustrasi yang disampaikan di persidangan tidak ditemukan adanya mens rea (niat jahat) atau actus reus (tindakan kriminal) yang melatarbelakangi kejahatan tersebut.
“Pendapat saksi ahli menunjukkan bahwa permasalahan terdakwa masih berada dalam ranah hukum perdata, bukan pidana,” tegas Mathilda.
Sidang berikutnya akan digelar dua minggu ke depan dengan agenda mendengarkan keterangan dari terdakwa dan saksi a de charge. Pengembangan lebih lanjut dari kasus ini diharapkan akan semakin memperjelas apakah tindakan Yusra Amir sepenuhnya merupakan pelanggaran perdata ( JW )