tribundepok.com – Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengungkapkan bahwa perempuan menjadi kelompok yang paling rentan terhadap praktik jual beli suara dalam kontestasi politik. Hal ini diungkapkan oleh Pembina Perludem, Titi Anggraini, dalam sebuah media talk di Jakarta pada Senin (8/9).
Menurut Titi, loyalitas pemilih perempuan yang cenderung lebih tinggi dibandingkan laki-laki membuat mereka lebih sering menjadi sasaran. “Perempuan adalah pemilih yang loyal. Mereka lebih disiplin untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan cenderung lebih amanah. Jadi kalau disuruh pilih A, ya mereka akan memilih A. Ini yang kemudian membuat perempuan lebih rentan terhadap praktik jual beli suara,” jelas Titi.
Loyalitas ini, menurut Titi, bukanlah satu-satunya alasan mengapa perempuan menjadi target. Relasi kuasa yang bersifat patriarkis juga menjadi faktor penting yang memengaruhi kerentanan perempuan, terutama dalam hal pemaksaan pilihan politik.
“Perempuan, terutama anak perempuan, sering kali menjadi korban eksploitasi dalam konteks relasi kuasa yang patriarkis. Mereka lebih rentan dipaksa memilih kandidat tertentu karena dominasi yang terjadi di lingkungan sosial mereka,” tambahnya.
Perludem menekankan bahwa salah satu cara untuk mengurangi kerentanan ini adalah dengan memperkuat edukasi politik dan pemahaman tentang hak-hak politik bagi perempuan.
“Beban ganda yang dihadapi perempuan dalam kehidupan sehari-hari sering kali membuat mereka terpinggirkan dalam akses terhadap informasi kepemiluan dan pendidikan politik. Hal ini harus segera diatasi agar perempuan dapat berpartisipasi secara penuh dan independen dalam Pemilu,” tegas Titi.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), partisipasi pemilih perempuan memang lebih tinggi dibandingkan pemilih laki-laki. Dalam berbagai ajang pemilihan, baik itu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Presiden (Pilpres), hingga Pemilihan Legislatif (Pileg), tingkat partisipasi perempuan selalu melampaui laki-laki. “Data KPU dari Pemilu sebelumnya menunjukkan bahwa partisipasi laki-laki berada di kisaran 48 persen, sedangkan perempuan mencapai 51 persen. Selisihnya hampir 4 persen, ini adalah tren yang konsisten,” ungkap Titi.
Situasi ini, menurut Perludem, menunjukkan pentingnya upaya perlindungan bagi perempuan dari praktik-praktik jual beli suara dan pemaksaan politik. Edukasi politik yang inklusif dan merata menjadi kunci agar perempuan dapat berperan secara aktif dan independen dalam menentukan masa depan politik bangsa.
Perludem berharap bahwa dengan adanya peningkatan literasi politik di kalangan perempuan, mereka dapat lebih menyadari hak-hak politiknya dan tidak mudah dimanipulasi dalam proses Pemilu mendatang.*