tribundepok.com – Keputusan kontroversial Pengadilan Negeri (PN) terkait kasus tindak pidana cabul mengejutkan banyak pihak. Terdakwa Eri Kusnardi (27), yang terbukti bersalah, justru mendapatkan keringanan hukuman dari majelis hakim, memicu keraguan akan efektivitas sistem peradilan dalam melindungi korban.
Meskipun terdakwa dianggap bersalah atas tindakan membujuk melakukan perbuatan cabul, hakim Ahmad Adib memutuskan untuk mengurangi hukuman dari tuntutan Jaksa Penuntut (JPU) yang sebelumnya mencapai 10 tahun penjara. Pertanyaannya, apakah keringanan ini sebanding dengan dampak psikis yang dialami korban?
Hakim menyebut sejumlah faktor yang memberatkan, seperti meresahkan masyarakat dan tidak mendukung program perlindungan anak pemerintah. Namun, faktor-faktor yang meringankan, seperti sikap sopan terdakwa dalam persidangan dan statusnya sebagai tulang punggung keluarga, menjadi alasan hukuman yang tampaknya lebih ringan.
“Apakah penurunan hukuman ini mencerminkan kebijakan pemerintah yang serius dalam melindungi anak-anak dari tindak pidana cabul? Ataukah ini sekadar langkah mundur dalam menegakkan keadilan?” tanya Ahmad Adib dalam sidang putusan hari Senin lalu
JPU Enda Sendilosa sebelumnya menuntut hukuman penjara 10 tahun bagi terdakwa. Namun, keputusan hakim memotong hukuman menjadi setengahnya, yakni 5 tahun penjara dan denda Rp 800.000.000,-. Pertanyaannya, apakah hukuman ini akan memberikan efek jera dan menjamin perlindungan anak di masa depan?
Keputusan yang kontroversial ini menimbulkan pertanyaan serius tentang sistem peradilan kita dan sejauh mana kita melindungi generasi mendatang dari ancaman serius seperti tindak pidana cabul. Dalam konteks ini, apakah hukuman yang diberikan memadai untuk memberikan keadilan sejati bagi korban? ( Joko Warihnyo )