tribundepok.com – Polemik seputar pembebasan lahan untuk pembangunan SMP Negeri 35 di Kelurahan Curug, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, kembali mencuat setelah Ketua LSM Gelombang, Cahyo Putranto, menuding adanya dugaan korupsi dalam prosesnya. Namun, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok melalui Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Disrumkim), Dadan Rustandi, dengan tegas membantah tudingan tersebut.
Menurut Cahyo, ada kejanggalan dalam pembayaran ganti rugi lahan seluas 4.000 meter persegi yang dilakukan Pemkot Depok. Ia menyebut bahwa ahli waris tanah, Hendra dan Herawati, hanya menerima ganti rugi di kisaran Rp 1.000.000 hingga Rp 1.300.000 per meter persegi. Padahal, jika mengacu pada total anggaran sebesar Rp 15.166.000.000, seharusnya harga ganti rugi mencapai Rp 3.791.500 per meter persegi.
“Jika anggaran sebesar itu memang digunakan sepenuhnya untuk membayar ganti rugi tanah, maka harusnya ahli waris menerima lebih dari yang mereka dapat. Kami menduga ada permainan dalam proses ini,” ujar Cahyo.
Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa pembayaran justru dilakukan kepada mantan anggota DPRD Kota Depok periode 2014–2019, Titi Sumiati, bukan kepada ahli waris sah Lie Peng Yang, yaitu Hendra dan Herawati. Menurutnya, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan adanya transaksi jual beli atau perjanjian penyerahan kepemilikan antara ahli waris dan Titi Sumiati. Oleh karena itu, Cahyo meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut kasus ini lebih lanjut.
Menanggapi tuduhan tersebut, Dadan Rustandi menegaskan bahwa semua proses telah dilakukan sesuai aturan. Ia bahkan menyebut bahwa isu ini sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak yang ingin menghalangi pembangunan SMPN 35 di lokasi tersebut.
“Kami tidak asal bayar. Ada tim appraisal independen yang menentukan harga tanah sebesar Rp 3.700.000 per meter persegi. Pembayaran dilakukan berdasarkan hasil appraisal tersebut,” ujar Dadan.Jum’at (31/1/2025)
Ia juga menekankan bahwa seluruh proses telah melalui tahapan verifikasi yang ketat, termasuk pemeriksaan dokumen kepemilikan oleh notaris dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Sebelum pembayaran dilakukan, kami didampingi oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Tidak mungkin ada yang disembunyikan,” tambahnya.
Terkait status kepemilikan tanah, Dadan menjelaskan bahwa dokumen resmi menunjukkan kepemilikan sah berada di tangan Titi Sumiati. Oleh karena itu, pembayaran dilakukan kepadanya, bukan kepada ahli waris Lie Peng Yang.
“AJB (Akta Jual Beli) atas nama Titi Sumiati dan sudah diverifikasi keabsahannya oleh notaris dan BPN. Setelah semuanya jelas, baru kami lakukan pembayaran,” tegasnya.
Selain dugaan korupsi, Cahyo juga menyoroti bahwa tanah tersebut tidak layak untuk dijadikan sekolah karena berupa lahan rawa. Namun, Dadan menepis kekhawatiran tersebut.
“Kami hanya pelaksana. Kajian kelayakan (Feasibility Study) sudah dilakukan sebelumnya, dan lokasi ini masuk dalam zona yang bisa dibangun sekolah,” jelasnya.
Menurutnya, dalam perencanaan sekolah, ada tiga lokasi yang dikaji: satu masuk zona hijau yang tidak bisa dibangun, satu masuk zona industri yang juga tidak memungkinkan, dan satu lagi masuk zona perumahan yang masih bisa digunakan.
“Kami pilih lokasi yang sesuai aturan. Tidak mungkin kami melanggar regulasi dengan membangun di zona hijau atau industri,” paparnya.
Dadan menegaskan bahwa tuduhan adanya mafia tanah, ketidaksesuaian harga, hingga dugaan korupsi dalam proyek ini tidak berdasar.
“Semua sudah sesuai prosedur, melalui kajian, verifikasi, dan pendampingan oleh pihak berwenang. Tidak ada permainan dalam pembebasan lahan ini,” pungkasnya.
Meski demikian, kontroversi ini masih menyisakan pertanyaan yang perlu dijawab. Apakah benar tidak ada pelanggaran dalam proses ini? Ataukah ada celah dalam sistem yang perlu diperbaiki agar ke depan tidak terjadi kasus serupa? Publik tentu akan menunggu hasil investigasi lebih lanjut.( dian t )