tribundepok.com – Muhammad Arief Rosyid, mahasiswa program doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), Universitas Indonesia (UI), dinyatakan lulus dalam sidang terbuka promosi doktor pada Senin (17/07/2023), yang dilaksanakan di Kampus UI, Depok, Jawa Barat
Gagasan rumusan kebijakan Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT) peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dr. Muhammad Arief Rosyid ditetapkan sebagai Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI dengan predikat cum laude.
Sidang promosi doktor tersebut dipimpin oleh Dekan FKM UI, Prof. dr. Mondastri Korib Sudaryo, M.S., D.Sc., dengan dr. Adang Bachtiar, MPH, D.Sc sebagai Promotor; serta Prof. Dr. dr. Fachmi Idris, M.Kes. dan Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH sebagai Ko-Promotor. Adapun tim penguji dalam sidang tersebut diketuai oleh Prof. dr. Anhari Achadi, SKM, ScD, dengan anggota: Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D.; Prof. Dr. Dra. Dumilah Ayuningtyas, MARS; Dr. drg. Julita Hendrartini, M.Kes, AAK; dan Prastuti Soewondo, S.E., MPH, Ph.D.
Program JKN memberikan jaminan terhadap pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan dan indikasi medis pesertanya. Meski demikan, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi peserta untuk memperoleh fasilitas lebih dari yang dibutuhkan. Peserta dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti AKT, atau membayar selisih antara biaya yang dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan yang harus dibayarkan dengan dana pribadi atau out-of-pocket (OOP).
Menurut Arief Rosyid, berdasarkan Laporan Kerjasama Kajian Komparasi Jaminan Kesehatan Penyelenggara Negara, dari 385 responden 61,2% pernah menggunakan JKN, sebanyak 32,5% meminta naik kelas kamar rawat inap, dan 38,8% membayar secara OOP. Sebanyak 58,1% responden bahkan pernah mengeluarkan OOP dengan rata-rata Rp2,7 juta.
Persentase OOP terhadap total belanja kesehatan mengalami penurunan sejak program JKN dimulai. Meskipun demikian, skema OOP terhadap total belanja kesehatan dibandingkan persentase skema asuransi kesehatan sosial dan swasta selalu lebih tinggi dengan yang terbaru pada 2020 adalah 29,3 persen. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan rekomendasi dari World Health Organization (WHO), yaitu kurang dari 20 persen. Hal ini merupakan tantangan bukan hanya untuk program JKN, namun juga AKT.
Untuk mendapatkan rumusan kebijakan AKT peserta program JKN yang sesuai, Arief melakukan wawancara mendalam terhadap delapan informan dan mengadakan empat kali Focus Group Discussion (FGD) dengan tiga kelompok yang terdiri atas 26 peserta. Wawancara mendalam dilakukan dengan berbagai stakeholder dan policy maker, sedangkan FGD dilakukan dengan kelompok pemberi kerja, rumah sakit, serta perusahaan AKT.
Melalui uji regresi logistik berganda model prediksi akhir, Arief menemukan karakteristik atau ciri-ciri responden yang memiliki AKT. Mereka adalah orang dengan pendidikan akhir perguruan tinggi; berusia 25–54 tahun atau dalam kategori usia produktif; serta merupakan kaum urban/kota. Kelompok ini memiliki pengeluaran per kapita (selain makan) di atas upah minimum provinsi. Kelompok dengan karakteristik tersebut cenderung dua kali atau lebih untuk memiliki AKT dibanding kelompok lainnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Arief menyebut bahwa sinergi antara program JKN dan AKT adalah model pesawat dengan destinasi tujuan akhir untuk mencapai negara sejahtera yang mewujudkan masyarakat sehat sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. AKT yang paling ideal untuk terlibat dalam sistem Jaminan Sosial Nasional adalah supplement atau top-up, serta menjamin pelayanan yang berbeda dengan program JKN serta program yang dijamin oleh pemerintah. Skema peran ini menjadikan program JKN sebagai penjamin pertama dan utama dari masyarakat, sedangkan AKT akan berperan untuk membayar selisih biaya ketika peserta menginginkan peningkatan pelayanan.
“Pesawat merupakan ilustrasi dari fasilitas pelayanan kesehatan, rumah sakit, klinik, dan puskesmas,” jelasnya. ( JK )