tribundepok.com – Dalam beberapa waktu terakhir, Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat semakin tertekan, sebuah kenyataan yang mulai menggambarkan sisi emosionalnya. Pernyataan Jokowi yang menyebutkan bahwa dirinya “sudah habis kesabaran” memberikan indikasi bahwa apa yang selama ini terkubur dalam dirinya kini mulai terungkap ke permukaan.
Hal ini mengundang berbagai reaksi dari berbagai pihak, salah satunya dari analis komunikasi politik Hendri Satrio, yang menilai bahwa perasaan tertekan tersebut adalah hal yang wajar mengingat situasi yang dihadapi Presiden Jokowi saat ini.
Menurut Hendri Satrio, atau yang akrab disapa Hensat, pernyataan Jokowi menunjukkan adanya ketegangan emosional yang mulai memuncak.
“Pak Jokowi menyampaikan, ‘saya sudah habis kesabaran’ dan menurut saya sih wajar juga kalau dia merasa tertekan,” ujar Hensat dalam wawancara yang diunggah melalui kanal YouTube dikutip Minggu, 16 Maret 2025.
Pernyataan ini mencerminkan betapa situasi politik yang semakin memanas bisa menambah beban psikologis bagi seorang pemimpin.
Sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia yang telah memimpin selama hampir satu dekade, Jokowi tentunya menghadapi banyak tekanan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Hensat menekankan bahwa masyarakat perlu menghormati posisi Jokowi sebagai kepala negara dan tetap menjaga marwah demokrasi Indonesia.
“Jangan sampai hukum tercampur dengan politik. Yang kedua, jangan sampai hukum mengikuti selera politik,” tegas Hensat.
Menurutnya, jika hukum mengikuti selera politik, maka aparat hukum bisa terjebak dalam permainan politik, yang tentunya merugikan proses demokrasi.
Pernyataan ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga independensi hukum, yang seharusnya berdiri tegak di luar kepentingan politik.
Menurut Hensat, jika para tokoh politik berpolitik untuk meraih kekuasaan dan kedudukan, itu adalah hal yang wajar. Namun, jika aparat penegak hukum ikut berpolitik, maka integritas hukum itu sendiri yang bisa terganggu.
Tudingan terkait politisasi hukum semakin menguat setelah politisi PDIP, Deddy Sitorus, mengungkapkan adanya utusan yang dikirim ke partainya. Menurut Deddy, pada tanggal 14 Desember 2024, ada permintaan khusus yang diajukan kepada PDIP.
“Ada utusan yang menemui kami, memberitahu bahwa Sekjen (Hasto) harus mundur, lalu jangan pecat Jokowi, dan ada sekitar 9 orang dari PDIP yang ditarget kepolisian dan KPK,” ungkap Deddy.
Hal ini semakin mempertegas bahwa kasus ini tak hanya berputar pada persoalan hukum semata, tetapi juga berbau politis yang bisa berdampak pada dinamika internal partai dan pemerintahan.
Pernyataan ini mencuat sebagai bagian dari sebuah cerita yang lebih besar, di mana politisasi hukum menjadi isu yang kian hangat dibicarakan.
Tudingan bahwa ada intervensi politik dalam penegakan hukum semakin menyulut api ketegangan yang sudah mulai membara.
Keberanian Jokowi untuk mengekspresikan ketidaksabarannya hanya mencerminkan betapa tertekannya dia oleh situasi yang berkembang.
Sementara itu, masyarakat dan pihak-pihak terkait diharapkan untuk lebih bijak dalam merespons kondisi ini agar proses demokrasi tetap berjalan dengan baik dan tidak terdistorsi oleh kepentingan politik sesaat.
Dengan kondisi yang semakin tegang ini, Jokowi kini berada di persimpangan, di mana ia harus menghadapi tidak hanya tantangan politik, tetapi juga tantangan untuk menjaga stabilitas hukum dan kepercayaan publik. Bagaimana kelanjutan perjalanan politik Jokowi akan sangat ditentukan oleh keputusan-keputusan yang diambil dalam menghadapi tekanan yang terus menguat.***
Editor : Joko Warihnyo