tribundepok.com – Di tengah gemuruh pembangunan ibu kota, Jakarta menghadapi ancaman yang kian nyata namun sering luput dari sorotan utama: krisis sampah. Dengan produksi harian mencapai 7.500 ton, Jakarta kini berada di ujung tanduk jika persoalan limbah ini tidak segera ditangani secara serius dan sistemik.
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung Wibowo, angkat bicara dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Gedung Parlemen, Rabu (30/4/2025). Dalam forum itu, Pramono secara terbuka meminta dukungan penuh dari pemerintah pusat dan legislatif demi mencari solusi konkret atas darurat sampah di ibu kota.
“Yang sudah tertangani di Bantar Gebang melalui RDF (Refuse-Derived Fuel) hanya 1.500 ton, dan di Rorotan sekitar 2.500 ton. Jika semuanya berfungsi optimal, baru sekitar 4.000 ton yang tertangani. Masih ada lebih dari 3.000 ton sampah baru setiap hari yang belum jelas penanganannya. Ini masalah nyata Jakarta hari ini,” kata Pramono.
Kendati menyebut persoalan sampah sebagai “primadona” saat ini karena banyak pihak swasta yang tertarik terlibat Pramono juga mengungkapkan bahwa kedatangan berbagai investor dan penyedia teknologi belum tentu langsung menjadi solusi.
“Hampir setiap hari saya menerima tamu yang menawarkan incinerator mesin pembakar sampah yang sudah sukses digunakan di China dan Eropa. Mereka bilang bisa menghabiskan sampah harian kita dalam sekejap. Tapi kan tidak semudah itu,” ujarnya.
Meski teknologi seperti incinerator menawarkan potensi besar, Pramono menekankan pentingnya regulasi dan kerangka pendanaan yang jelas. Salah satunya adalah kejelasan soal tipping fee biaya yang dibayarkan kepada pengelola tempat pembuangan akhir (TPA).
Pramono mendesak agar Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur mekanisme dan nilai tipping fee bisa segera dirilis. Tanpa kejelasan ini, kata dia, Jakarta kesulitan bekerja sama dengan pihak ketiga dalam pengelolaan sampah secara profesional dan berkelanjutan.
“Kalau Perpres tipping fee segera disahkan, kami bisa segera bergerak. Ini penting karena pengelolaan sampah yang efisien bukan hanya soal lingkungan, tapi juga bisa jadi sumber pendapatan baru baik bagi Jakarta maupun nasional,” tegasnya.
Narasi tentang sampah di Jakarta perlahan bergeser. Dari sekadar masalah lingkungan dan estetika, kini menjadi isu strategis yang menyangkut tata kelola, investasi, hingga peluang energi alternatif. Pengolahan sampah yang tepat bahkan diyakini mampu menghasilkan listrik, bahan bakar, dan menciptakan lapangan kerja.
Namun semua ini akan sulit terwujud tanpa dukungan kebijakan yang kuat, pendanaan yang konsisten, dan budaya sadar sampah dari warganya sendiri.
Sejumlah tokoh seperti Rano Karno pun telah menekankan pentingnya menjadikan pengelolaan sampah sebagai budaya warga, bukan sekadar proyek pemerintah. Tanpa partisipasi publik, secanggih apa pun teknologi yang digunakan tidak akan mampu menyelesaikan persoalan dari akarnya.***
Editor : Joko Warihnyo