tribundepok.com – Dunia pendidikan di Kota Depok kembali tercoreng oleh dugaan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum guru terhadap sejumlah siswi sekolah dasar (SD) swasta di kawasan Cimanggis. Perilaku tercela ini tidak hanya melukai para korban, namun juga mengguncang kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat paling aman bagi anak-anak menimba ilmu.
Kasus ini pertama kali mencuat ke publik setelah seorang saksi berinisial MWR mengungkapkan dugaan adanya tindakan asusila yang dilakukan oleh seorang guru kepada siswinya. Keterangan MWR yang kemudian menyebar di media sosial sontak menjadi viral dan menuai perhatian publik luas.
Menurut MWR, peristiwa dugaan pelecehan pertama terjadi pada Agustus 2024 dan menimpa setidaknya 14 siswi kelas 6. Namun, hanya 11 siswi yang berani mengaku menjadi korban.
“Sebelas anak ini melaporkan bahwa si guru memeluk mereka dari belakang dan menyentuh area dada,” ujar MWR kepada awak media, Kamis (10/4/2025).
Ia menambahkan, laporan dari salah satu korban telah disampaikan kepada orang tua, dan kasus itu pun telah dibawa ke pihak sekolah dan yayasan. Sayangnya, upaya penyelesaian yang dilakukan dinilai hanya bersifat administratif dan tidak memberikan sanksi tegas kepada pelaku.
“Saat itu hanya dijanjikan akan diberi surat peringatan (SP) dan surat pernyataan, bahwa jika terjadi lagi maka guru tersebut akan diberhentikan. Tapi sampai sekarang, surat itu pun tak pernah ada,” ungkap MWR.
Lebih lanjut, MWR menyebut bahwa dugaan pelecehan kembali terjadi pada Februari 2025. Kali ini, korbannya adalah seorang siswi kelas 2. Modusnya pun berbeda—oknum guru diduga melakukan pelecehan saat membenarkan dasi Pramuka korban.
“Anaknya bilang, ‘Mah, aku tadi dipegang di bagian sini (dada),’ dan orang tuanya langsung melapor ke sekolah. Namun lagi-lagi hanya dijanjikan akan ditindaklanjuti,” tuturnya.
Tidak berhenti sampai di situ, pada Maret 2025, seorang siswi kelas 5 kembali menjadi korban dugaan tindakan tidak pantas dari guru yang sama. Kejadian tersebut disaksikan oleh siswa kelas 6 yang mengaku melihat guru tersebut memegang panggul korban.
Mirisnya, meski berbagai laporan sudah mencuat, tak satu pun orang tua korban yang melaporkan kasus ini ke jalur hukum. MWR mengungkapkan bahwa banyak orang tua yang takut mengambil langkah hukum karena tekanan atau kekhawatiran lainnya.
“Beberapa orang tua sebenarnya siap menjadi saksi, tapi mereka takut. Jadi saya yang akan melaporkan kasus ini ke polisi, agar tidak ada lagi korban lain,” tegasnya.
Terpisah, Komite Sekolah tempat kejadian itu berlangsung memberikan bantahan tegas atas tuduhan pelecehan seksual. Tri, perwakilan komite sekolah, mengatakan bahwa peristiwa tersebut sudah dibahas sejak Agustus 2024 dan tidak ada unsur pelecehan seperti yang dituduhkan.
“Di berita kan disebutkan ada pemegangan dada dan bokong, tapi itu sebenarnya tidak benar. Orang tua siswa kelas 6 pun sudah mengklarifikasi bahwa hal itu tidak pernah terjadi,” kata Tri kepada wartawan, Kamis (10/4/2025).
Ia menegaskan bahwa penyelesaian sudah dilakukan secara damai melalui musyawarah yang melibatkan sekolah, yayasan, dan para orang tua. Menurutnya, perlakuan oknum guru tersebut tidak lebih dari sikap kebapakan.
“Kalau kita lihat, memang gaya gurunya seperti bapak ke anak. Bahkan siswi yang ditanyai pun tidak merasa dilecehkan. Mereka nangis karena ditegur atau dimarahi, bukan karena dilecehkan,” jelasnya.
Tri pun menyayangkan pemberitaan yang dianggap memperkeruh suasana dan menyudutkan pihak sekolah tanpa dasar yang kuat.
“Kalau memang ada bukti kuat, silakan tempuh jalur hukum. Tapi jangan sampai opini liar merusak nama baik sekolah dan mencemarkan reputasi guru yang sudah lama mengabdi,” tegasnya.
Kasus ini mengundang perhatian banyak pihak dan menimbulkan pertanyaan serius soal perlindungan anak di lingkungan pendidikan. Aktivis perlindungan anak dan tokoh masyarakat mendesak agar aparat penegak hukum turun tangan, mengingat besarnya dampak psikologis yang mungkin dialami para korban.
Jika benar terbukti ada unsur pelecehan, maka ini bukan hanya pelanggaran etik sebagai pendidik, tetapi juga tindak pidana yang harus diproses secara hukum. Di sisi lain, jika tuduhan tidak terbukti, maka perlu juga ada klarifikasi menyeluruh untuk menjaga nama baik sekolah dan mencegah fitnah.***