tribundepok.com – Alfi Abusar : Aktivis Mahasiswa Kota Depok memberikan kritikan keras kepada Gubernur Jawa Barat Pak Didi Mulyadi, bahwa barak militer bukan solusi untuk membentuk karakter disiplin anak yang berpendidikan, iya mengatakan ini bukan soal membentuk karakter anak-anak didik tetapi lebih tepat nya membentuk psikologi mereka dengan kekerasan dan tindakan militerisasi, Serta tidak mendapatkan ilmu yang baik karena ilmu bisa diterima oleh akal melalui cinta dan kasih dari seorang guru.
Karena segan, takut, dan menghormati adalah hal yang berbeda, kita harus bisa memisahkan antara ketiga poin tersebut untuk mengetahui nya agar pendidikan ini tidak di militerisasi dengan harapn membentuk karakter anak didik, secara karakter memang akan dapat membentuk tetapi secara psikologi mereka akan timbul ketakutan dan tidak menimbulkan rasa menghormati mereka terhadap guru.
Dapat dilihat dalam segi fungsi miter yaitu kedisiplinan dan tunduk patuh terhadap perintah atasan yang menganggap tindakan kekerasan adalah solusi untuk menertibkan anggota jika melanggar aturan-aturan militer.
Dengan hal tersebut barak militer bukan solusi untuk anak didik dalam membentuk karakter mereka, justru menimbulkan kepribadian yang keras dalam menghadapi persoalan tidak bisa di pungkiri tindakan mereka akan menuai kekerasan untuk menyelesaikan masalah.
Menurut Rousseau ia menolak metode disiplin keras. Ia percaya bahwa anak-anak secara alami baik, dan perilaku buruk sering muncul karena lingkungan yang buruk, ia melihatnya sebagai penindasan terhadap kebebasan alami anak. Jhon Locke melihat anak sebagai tabula rasa (kertas kosong). Pendidikan dan pengalaman membentuk karakter. Ia menganjurkan pendekatan yang rasional dan penuh kasih Bukan dengan tindakan militerisasi.
M. Jain Amrin: aktivis kota depok juga mengatakan Kebijakan Dedi Mulyadi yang pernah menyarankan penggunaan barak militer sebagai tempat pembinaan anak jalanan dan preman menuai kritik karena mencerminkan pendekatan yang represif terhadap masalah sosial.
“Alih-alih mengedepankan solusi berbasis pendidikan dan kesejahteraan, kebijakan ini justru berpotensi melanggar prinsip hak asasi manusia serta menciptakan stigma baru terhadap kelompok marginal. Pendekatan semacam ini dianggap mengabaikan akar persoalan sosial-ekonomi yang menyebabkan munculnya anak jalanan dan premanisme, serta membuka ruang bagi militerisasi dalam ranah sipil yang semestinya dijaga dalam tatanan demokratis” tuturnya.
“Sebagai solusi, pemerintah Jawa Barat seharusnya mengembangkan pendekatan yang lebih humanistik dengan membangun pusat rehabilitasi sosial yang menekankan pada pendidikan, pelatihan kerja, dan dukungan psikologis. Kolaborasi dengan lembaga sosial, LSM, dan tokoh masyarakat akan jauh lebih efektif dalam menciptakan perubahan perilaku secara berkelanjutan. Dengan mengedepankan pemberdayaan dan penegakan hukum yang adil, solusi terhadap masalah sosial dapat dicapai tanpa harus mengorbankan prinsip kemanusiaan dan demokrasi” tambahnya.
Alfi Abusar: sebagai solusi untuk membentuk karakter anak didik yang nakal dan dll, langkah yang harus diambil sebagai tindakan demokrasi harus nya ada penekanan yang fundamental dan komprehensif di dalam pendidikan melalui pengajaran nilai-nilai agama lebih dalam dan masifkan di seluruh sekolah yang ada di jawa barat sebagai pembentukan moral, Pendidikan harus membimbing, bukan memaksa. Hukuman seharusnya tidak bersifat otoriter, tapi mendidik melalui konsekuensi alami. Disiplin harus masuk akal dan proporsional. Pembiasaan dan teladan lebih penting dari paksaan.
Pembelajaran moral, etika, dan sopan santun bukan tugas guru tetapi hal tersebut menjadi tugas yang paling mendasar orang tua tugas guru memberikan ilmu mendidik membentuk kerangka berpikir anak didik, dalam hal ini seharusnya yang ditekankan adalah orang tua dalam memberikan edukasi terhadap anak. dan tugas pemerintah memberikan pengawasan yang ketat dan hukum dalam pengawasan agar hal yang tidak diinginkan dapat terkontrol dengan baik.
Tugas pemerintah bukan mengurusi anak didik dalam pembentukan karakter. tetapi pembangunan dan dan lain lain. Ini artinya pak Didi Mulyadi mencampuri peran orang tua dan guru dan terlebih lagi mengambil kebebasan anak. (red)