tribundepok.com – Terkait pernyataan Agung Witjaksono mengenai lambannya pembangunan di Kota
Depok, mengakui memang ada missing link antara pemerintahan terdahulu dengan yang sekarang. Namun kunci permasalahannya bukan disitu melainkan kondisi yang berbeda serta pengaruh pembangunan skala nasional.
“ Ya missing link itu ada, namun bukan di tingkat legislatif melainkan di tingkat eksekutif . Bukan antara kebijakan jangka menengah dan panjang legilatif lama yang tidak bisa dipahami atau dilanjutkan oleh legislatif sekarang, tetapi lebih pada kondisi yang sudah berbeda,” ujar politisi PAN ini.
Menurut Azhari harus dipahami rencana pembangunan awal bisa saja berubah karena kondisi. Contohnya, pada masa Badrul Kamal direncanakan dalam (RPJMP-Kota Depok) pembangunan akses jalan terkoneksi dari Tol Jagorawi hingga Tangerang Selatan. Tapi yang terlaksana sekarang bukan jalan terpadu, melainkan jalan Tol. “ Ada perbedaan mendasar antara jalan terkoneksi dengan tol. Pemebuatan jalan terkoneksi tanggungjawab pemerintah Kota Depok dan Jawabarat, tetapi jalan tol itu tanggungjawab pemerintah pusat pendanaan dan sebagainya,” ujarnya.
Memang pada zaman Badrul Kamal ada BKSP Bopuncur( Badan Kerjasama Segitiga Pembangunan
). Namun saat Ahok memimpin Jakarta banyak perencanaan yang berubah karena Jakarta menolak
proyek tersebut.Meski demikian Azhari masih mendambakan Depok tetap memiliki jalan terkoneksi selain jalan tol.
“ Dengan adanya jalan terkoneksi akan menghidupkan perekonomian masyarakat sekitar jalan,
selain mempermudah akses, beda dengan jalan tol, perekonomian masyarakat yang dilalui atau
sekitar jalan tol tidak terpengaruh bahkan bisa saja memburuk. Contoh Raya Bogor yang dulu
begitu hidup,namun sejak ada jalan tol Cijago di dekat Pasar Cisalak yang awalnya di plot jadi
Pasar induknya Depok lebih sepi, orang memilih ke Pasar Cibinong, “ ujarnya.
Begitu pula dengan pembuatan terminal type A Jatijajar yang terkesan lamban. Ada permasalahan
di sini untuk terminal type A kewenangan pengendalian dan pembiayaan lebih banyak berasal dari
pemerintah pusat, bahkan Kota Depok hanya mengurusi pembiayaan pembangunan bersifat kecil
seperti penurapan kali disekitar terminal. Bahkan Pemkot Depok hanya bisa menempatkan 5 ASN
saja diperbanyukan di terminal tersebut. Dengan demikian tentunya pertanggungjawaban
keuangannya harus rinci, papar Azhari.
“ Masalahnya setelah disetujui dan dana digelontorkan ada perbedaan luas area lokasi karena
ternyata ada sungai yang melintas, ada garis sempadan sungai dan sebagainya sehingga kita harus
mengajukan kembali dan menyampaikan permasalahan tersebut sehingga tidak terjadi temuan
manipulasi data. Nah setelah itu ada penghitungan kembali..proses inilah yang memperlama,”
papar Azhari.
Ia pun menjelaskan, tidak seperti terminal type B yang untuk angkutan dalam kota, pembangunan
teriminal Tipe A Jatijajar diperuntukan bagi armada antar propinsi yang tentunya butuh akses jalan.
Sesuai perencanaan , akses masuk armada antar propinsi itu nantinya dari jalan tol Tapos. Tapi
sampai sekarang tol tersebut belum digarap.
“ jadi kalau masyarakat mengeluhkan penggunaan Terminal Jatijajar belum maksimal bukanlah
kesalahan pemerintah Kota Depok. Pembuatan jalan tol itu tanggungjawab pemerintah pusat. Jadi
ya kita tunggu saja,” ujarnya menutup pembicaraan.(toro)