spot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
BerandaNasionalDPR Soroti Kebijakan Kontroversial Gubernur Dedi Mulyadi : Dari...

DPR Soroti Kebijakan Kontroversial Gubernur Dedi Mulyadi : Dari Vasektomi Paksa hingga Militerisasi Anak, Dinilai Langgar HAM

tribundepok.com– Deretan kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali menjadi sorotan tajam di tingkat nasional. Setelah sebelumnya menuai pro dan kontra atas larangan wisuda dan studi tur demi menekan jerat pinjaman online, kini kebijakan baru yang dinilai menyentuh ranah hak asasi manusia (HAM) memicu gelombang kritik, terutama dari parlemen.

Anggota Komisi XIII DPR RI, Pangeran Khairul Saleh, secara terbuka mengecam wacana kebijakan Gubernur Dedi yang mengaitkan prosedur medis vasektomi dengan syarat pemberian bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat kurang mampu.

Menurutnya, kebijakan tersebut tidak hanya inkonstitusional, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan hak dasar warga negara.

“Bansos adalah hak konstitusional setiap warga negara yang tidak boleh dikaitkan dengan syarat medis yang bersifat pribadi dan permanen. Usulan ini cacat secara etika dan hukum. Bahkan, ini bisa dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM,” kata Pangeran dalam pernyataan tertulis yang diterima media, Rabu (14/5/2025).

Vasektomi, kontrasepsi permanen yang dilakukan pada pria dengan memotong atau menyumbat saluran sperma (vas deferens), menurut Pangeran, seharusnya bersifat sukarela dan menjadi keputusan pribadi.

“Meskipun secara medis dapat mendukung program pengendalian kelahiran, menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos jelas menabrak prinsip kebebasan individu dan integritas tubuh,” ujarnya.

Ia mengingatkan publik pada bayang-bayang kelam masa Orde Baru, ketika program Keluarga Berencana (KB) dijalankan dengan pendekatan koersif dan tekanan administratif, yang menyisakan trauma kolektif di tengah masyarakat.

“Pendekatan seperti itu tidak boleh terulang. Kita harus belajar dari sejarah. Program pembangunan tak boleh mengorbankan hak dasar rakyat,” tegasnya.

Tak berhenti di situ, Pangeran juga menyoroti kebijakan Pemprov Jawa Barat yang mulai menerapkan program kedisiplinan berbasis militer di sekolah-sekolah. Program ini, menurutnya, berpotensi menciptakan suasana represif dan melanggar prinsip pendidikan yang humanis serta Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia.

“Membentuk karakter dan kedisiplinan anak tidak harus dengan pendekatan militeristik. Ini bisa membentuk ketakutan, bukan rasa tanggung jawab. Pendidikan seharusnya membangun kebebasan berpikir, bukan kepatuhan semu,” kritiknya.

Sejumlah kalangan menyebut gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagai “progresif dan tegas”, terutama dalam upaya menekan budaya konsumtif yang membebani ekonomi keluarga. Namun, sejumlah kebijakan yang menyerempet wilayah pribadi dan mendisiplinkan masyarakat dengan pendekatan struktural mulai dianggap berlebihan.

“Ketegasan harus dibarengi dengan perlindungan terhadap hak-hak sipil. Jangan sampai atas nama efisiensi atau pembangunan, kita kembali pada pola-pola pengendalian sosial yang mengabaikan hak individu,” ujar Dr. Farah Amalia, pengamat hukum dan HAM dari Universitas Padjadjaran.

Di media sosial, kebijakan vasektomi sebagai syarat bansos menuai perdebatan panas. Sebagian warga menilai langkah tersebut sebagai bentuk kontrol negara yang berlebihan atas tubuh rakyat. Namun, ada pula yang menilai kebijakan ini lahir dari keprihatinan terhadap jumlah penduduk dan tekanan ekonomi.

“Saya setuju pengendalian penduduk, tapi bukan dengan cara seperti ini. Masa mau makan harus operasi dulu?” ujar Dodi, warga Subang yang mengaku aktif menerima bansos.

Sementara itu, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) meminta Gubernur Dedi mengevaluasi pendekatan militer dalam dunia pendidikan anak. “Kalau tujuannya karakter, banyak metode positif lain. Jangan sampai malah memicu kekerasan atau tekanan mental,” kata Ketua LPAI, Seto Mulyadi.

Gelombang kritik ini menjadi pengingat bahwa kebijakan publik tidak cukup hanya dengan niat baik. Ia juga harus tunduk pada prinsip demokrasi, HAM, dan keadilan sosial. Pemerintah, dalam hal ini Pemprov Jabar, dituntut untuk lebih peka terhadap batas etika dan hukum dalam menjalankan program sosial.

Di tengah upaya pemerintah menata ulang cara pandang masyarakat soal pendidikan dan kesejahteraan, muncul tantangan baru,bagaimana memastikan bahwa kebijakan tersebut tetap manusiawi dan tidak mengorbankan martabat warga.***

Editor : Joko Warihnyo

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
tribun depok
tribun depokhttp://tribundepok.com
tribundepok.com - faktual update
error: tribundepok.com