tribundepok com– Kota Depok kembali jadi sorotan nasional, kali ini bukan karena prestasi, melainkan tragedi yang menyayat nurani: tawuran bersenjata antar siswa Sekolah Dasar (SD). Aksi kekerasan ini terjadi di kawasan Cilangkap, Sabtu (10/05/2025) sekitar pukul 10.30 WIB, dan menjadi bukti bahwa krisis moral dan pengawasan terhadap anak-anak sudah memasuki fase yang sangat mengkhawatirkan.
Ironisnya, pelaku tawuran yang seharusnya masih sibuk bermain dan belajar, justru sudah saling serang dengan senjata tajam seperti parang dan penggaris besi panjang. Tawuran itu berlangsung di jalanan Perumahan Pondok Laguna, Cilangkap, Kota Depok.
Menurut informasi yang dihimpun, dua kelompok anak SD dari dua sekolah berbeda di wilayah tersebut terlebih dulu saling menantang lewat media sosial. Tawuran pun disepakati dan dilakukan layaknya duel antarkelompok dewasa.
Sebuah video berdurasi singkat beredar luas di media sosial. Dalam rekaman itu terlihat sekelompok anak berseragam pramuka berlarian panik. Kamera pengambil gambar bergetar, diduga diambil dari atas sepeda motor, memperlihatkan suasana kacau dan menegangkan.
Di salah satu cuplikan, tampak dua bocah saling serang, salah satunya mengayunkan benda tajam menyerupai parang.
Kapolsek Cimanggis, Kompol Jupriono, membenarkan kejadian tersebut. Beruntung, kata dia, tidak ada korban luka maupun jiwa.
“Tawuran berhasil dibubarkan oleh warga sekitar yang khawatir akan timbul korban. Saat ini kami masih menyelidiki latar belakang peristiwa tersebut,” ujarnya.
Menanggapi peristiwa itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, menyampaikan keprihatinan mendalam. Menurutnya, tawuran yang melibatkan anak-anak usia SD merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip dasar perlindungan anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
“Anak-anak semestinya berada di lingkungan yang aman, mendukung tumbuh kembang mereka secara optimal. Kasus ini jelas mencerminkan kegagalan sistem kita dalam menghadirkan ruang yang ramah anak,” ujar Arifah dalam keterangannya, Rabu (14/5/2025).
Ia menegaskan bahwa pendekatan yang digunakan dalam menangani anak-anak pelaku kekerasan harus humanis dan mendidik, bukan represif. Merujuk pada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) Nomor 11 Tahun 2012, anak di bawah 12 tahun tidak dapat diproses pidana.
“Anak-anak ini bukan pelaku kriminal, melainkan korban. Mereka butuh pendampingan psikososial dan rehabilitasi, bukan stigmatisasi,” tegas Arifah.
Kementerian PPPA pun telah berkoordinasi dengan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Depok untuk memberikan pendampingan psikologis dan sosial sesuai amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2023.
Di tengah derasnya sorotan dan harapan publik terhadap langkah cepat pemerintah daerah, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Depok, Nessi Annisa Handari, belum dapat dimintai keterangan. Upaya konfirmasi yang dilakukan awak media sejak awal pekan ini belum mendapatkan respons.
Minimnya respons dari dinas terkait ini menuai kritik dari sejumlah pihak, mengingat peran DP3AP2KB sangat sentral dalam perlindungan anak dan edukasi keluarga.
“Ini bukan sekadar urusan polisi atau sekolah. Ini urusan seluruh ekosistem perlindungan anak, termasuk dinas yang memang diberi mandat langsung untuk urusan ini,” ujar Ratna Ayu, aktivis perlindungan anak di Depok.
Peristiwa tawuran antar siswa SD di Depok bukan hanya menyentil dunia pendidikan, tetapi juga memperlihatkan urgensi pembenahan sistem pembinaan karakter anak. Banyak pihak mendesak agar sekolah, orang tua, dan pemerintah daerah bergerak bersama membangun kembali nilai moral dan etika generasi muda.
“Fenomena ini alarm keras bagi kita semua. Ketika anak-anak sudah mulai meniru kekerasan yang mereka lihat di sekitar atau di media, artinya kita harus introspeksi besar-besaran,” tutup Arifah.
Saat ini, masyarakat berharap pemerintah Kota Depok, khususnya dinas yang terkait langsung dengan perlindungan anak, tidak hanya diam, tapi segera mengambil langkah nyata agar insiden serupa tidak terulang.***
Editor : Joko Warihnyo