tribundepok.com — Fenomena mengejutkan datang dari dunia aparatur sipil negara. Sebanyak 1.957 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tercatat mengundurkan diri setelah dinyatakan lolos seleksi. Angka ini memicu keprihatinan mendalam di kalangan legislator, termasuk dari Komisi II DPR RI yang membidangi urusan aparatur Negara.
Salah satu suara kritis datang dari Anggota Komisi II DPR RI, Ali Ahmad, yang mendesak pemerintah segera melakukan evaluasi total terhadap sistem penerimaan CPNS, khususnya pada aspek penempatan kerja.
Menurutnya, keputusan ribuan calon ASN untuk mundur tidak bisa dianggap remeh dan menunjukkan adanya masalah sistemik dalam kebijakan seleksi dan distribusi penempatan ASN.
“Mundurnya 1.957 orang ini adalah alarm keras bagi pemerintah. Ini bukan soal personal, tapi soal tata kelola penerimaan CPNS yang tidak profesional dan tidak memanusiakan peserta. Kebanyakan dari mereka mundur karena lokasi penempatan yang jauh dari domisili,” tegas Ali Ahmad dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (24/4/2025).
Politisi yang akrab disapa Ali itu menyebut, sistem yang diterapkan pemerintah saat ini belum mempertimbangkan aspek keadilan dan keterjangkauan secara menyeluruh. Ia mendorong agar sistem penempatan ASN mempertimbangkan model zonasi, seperti yang sudah diterapkan dalam sistem penerimaan siswa baru di sektor pendidikan.
Ali Ahmad menyoroti bahwa sistem saat ini seolah memposisikan rakyat yang memiliki hak konstitusional untuk menjadi ASN sebagai korban dari kebijakan yang kaku dan tidak berempati.
“Bayangkan, setelah seseorang berjuang mengikuti seleksi ketat dan dinyatakan lulus, ia harus menghadapi penempatan yang sangat jauh, tanpa pertimbangan kondisi sosial maupun ekonomi. Ini tidak adil,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa selain kehilangan kesempatan menjadi PNS, para CPNS yang mundur juga terancam sanksi berat, termasuk larangan mengikuti seleksi ASN di periode berikutnya sebagaimana diatur dalam Permenpan RB Nomor 27 Tahun 2021.
Ali juga menyoroti bahwa beberapa instansi, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), TNI, dan Polri, bahkan mengenakan sanksi berupa denda atau ganti rugi kepada mereka yang memutuskan mundur.
Di tengah beratnya konsekuensi, Ali Ahmad juga menyinggung masalah klasik yang belum selesai: rendahnya gaji ASN, terutama di awal masa kerja. “Penempatan jauh, biaya hidup tinggi, dan gaji yang masih rendah—itu kombinasi yang membuat banyak CPNS menyerah sebelum mulai bekerja,” ucapnya.
Untuk itu, Ali meminta Menteri PANRB segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh proses penerimaan ASN, mulai dari tahapan seleksi hingga penempatan. Evaluasi tersebut, katanya, harus bersifat komprehensif dan partisipatif, melibatkan akademisi, pakar kebijakan publik, organisasi masyarakat sipil, serta berkonsultasi dengan DPR RI.
Menurut Ali, DPR sendiri ikut merasakan dampak dari tingginya angka pengunduran diri ini, yakni terganggunya proses pengangkatan PNS maupun PPPK di banyak instansi.
“Penundaan pengangkatan itu akhirnya menumpuk pekerjaan, mengganggu pelayanan publik, dan merugikan rakyat,” tambahnya.
Dalam jangka panjang, Ali Ahmad mendorong pemerintah membangun sistem penerimaan ASN yang lebih humanis, berbasis kebutuhan daerah, dan mampu menjawab tantangan mobilitas sosial di Indonesia. Zonasi, digitalisasi seleksi, serta kebijakan insentif berbasis wilayah tertinggal bisa menjadi langkah konkret untuk menjawab persoalan ini.
Kisah 1.957 CPNS yang mundur bukan sekadar angka. Ia adalah potret nyata dari kebijakan yang tak berpijak pada realitas masyarakat. Evaluasi kebijakan bukan hanya soal memperbaiki sistem, tapi soal mengembalikan harapan jutaan rakyat Indonesia yang menggantungkan cita-citanya pada pengabdian sebagai ASN.***
Editor : Joko Warihnyo