tribundepok.com – Ketua DPR RI Puan Maharani angkat suara terkait penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), sebagai tersangka kasus dugaan suap oleh Kejaksaan Agung. Menurutnya, kasus tersebut menjadi sinyal kuat bahwa integritas para hakim perlu dievaluasi secara menyeluruh.
Puan menyampaikan bahwa praktik suap di kalangan penegak hukum, apalagi dilakukan oleh hakim yang seharusnya menjadi pilar utama keadilan, merupakan tamparan keras bagi sistem peradilan Indonesia.
“Sebaiknya dievaluasi bagaimana kemudian integritas dari para penegak hukum untuk bisa dibenahi,” ujar Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (14/4/2025).
Kasus ini sendiri mencuat setelah Kejaksaan Agung menetapkan MAN sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan suap terkait putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah. Dalam perkara itu, MAN diduga menerima suap sebesar Rp60 miliar dari dua orang advokat, yakni MS dan AR.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menyampaikan bahwa MAN menerima suap ketika masih menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Suap itu diberikan sebagai bentuk pengaturan putusan agar terdakwa dalam perkara ekspor CPO dibebaskan atau dijatuhi vonis ontslag.
“MAN diduga telah menerima uang suap sebesar Rp60 miliar dari tersangka MS dan AR selaku advokat untuk pengaturan putusan agar dijatuhkan ontslag,” ungkap Qohar dalam konferensi pers, Sabtu (12/4/2025) malam.
Tamparan Bagi Dunia Peradilan
Kekecewaan juga datang dari Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI, Jazilul Fawaid. Ia menyebut kasus ini sangat memprihatinkan dan mencoreng wajah lembaga peradilan yang tengah berupaya melakukan pembenahan internal.
“Ini menampar wajah para hakim yang selama ini punya integritas. Ini menampar institusi peradilan yang selama ini sedang berbenah,” ujar Jazilul dengan nada prihatin.
Politikus PKB itu menegaskan perlunya reformasi yang lebih serius di tubuh lembaga peradilan. Ia pun membuka peluang untuk memberikan dukungan anggaran apabila diperlukan untuk mendukung proses reformasi dan evaluasi menyeluruh di institusi tersebut.
“Kalau butuh anggaran, kita kasih anggaran. Tapi lembaga peradilan harus berani melakukan koreksi, karena ini bukan pertama kalinya terjadi,” tegasnya.
Momentum Perbaikan Sistemik
Kasus yang menimpa Ketua PN Jaksel ini bukan sekadar soal individu yang menyimpang, tetapi menjadi refleksi dari perlunya pembenahan sistemik dalam dunia peradilan. Harapan publik terhadap keadilan sejati tak akan pernah terwujud jika penegaknya justru bermain dalam wilayah abu-abu korupsi.
Evaluasi menyeluruh terhadap integritas hakim dan sistem pengawasan internal pengadilan kini menjadi keharusan, bukan pilihan. Desakan dari parlemen menandakan bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sedang diuji, dan langkah konkret harus segera diambil.
Apakah ini akan menjadi titik balik bagi wajah peradilan di Indonesia? Ataukah hanya akan menjadi lembaran baru dalam daftar panjang kasus serupa? Waktu akan menjawab, namun publik menunggu dengan harapan dan keraguan yang bersisian.***
Editor : Joko Warihnyo