tribundepok.com – Fenomena menggadaikan Surat Keputusan (SK) pengangkatan sebagai anggota dewan tengah marak di beberapa wilayah Jawa Timur. Puluhan anggota DPRD di daerah seperti Kabupaten Bangkalan, Sampang, hingga Pasuruan memilih menggadaikan SK-nya demi mendapatkan pinjaman bank, dengan nilai yang fantastis mencapai Rp500 juta hingga Rp1 miliar. Praktik ini, menurut berbagai sumber, dilakukan untuk melunasi hutang-hutang kampanye atau kebutuhan mendesak lainnya.
Namun, berbeda dengan fenomena tersebut, para anggota DPRD Kota Depok yang berjumlah 50 orang cenderung tidak tertarik mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jawa Timur. Hingga saat ini, belum ada anggota DPRD Depok yang menggadaikan SK pengangkatan mereka ke bank.
“Saya belum perlu uang dan enggan meminjam dari bank karena itu hanya akan menambah risiko. Fokus saya saat ini adalah bekerja memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat Kota Depok,” ujar salah satu anggota DPRD Depok yang enggan disebutkan namanya.sabtu ( 7/9/2024)
Ekonomi Anggota DPRD Depok Dinilai Lebih Stabil
Berbeda dengan situasi di beberapa daerah lain, para anggota DPRD Kota Depok umumnya berasal dari kalangan menengah ke atas dengan latar belakang ekonomi yang mapan. Walaupun kebutuhan setiap anggota dewan berbeda-beda, kondisi finansial mereka dianggap lebih stabil sehingga tidak memerlukan pinjaman dari bank dengan menjaminkan SK mereka.
Kondisi ini turut mengonfirmasi perbedaan ekonomi dan pola pengelolaan keuangan antaranggota DPRD di beberapa wilayah. Anggota dewan di Depok memilih untuk tidak mengambil risiko dengan menggadaikan SK, sementara di wilayah lain seperti Kabupaten Bangkalan, Sampang, dan Pasuruan, puluhan anggota dewan justru menjadikan SK pengangkatan mereka sebagai agunan untuk mendapatkan dana segar.
Maraknya Gadai SK di Jawa Timur
Fenomena gadai SK di Jawa Timur ini menjadi sorotan setelah 20 anggota DPRD Kabupaten Bangkalan diketahui menggadaikan SK mereka untuk pinjaman di Bank Jatim. Pinjaman tersebut diajukan pasca pelantikan yang digelar pada Senin (26/8) lalu. Menurut Sistha, salah satu pejabat bank, jumlah peminjam dari kalangan dewan ini berpotensi bertambah seiring proses pengajuan yang masih berlangsung.
“Saat ini sudah ada sekitar 20 anggota DPRD Bangkalan yang menggadaikan SK-nya. Pengajuan ini dilakukan bertahap, jadi kami masih menunggu kelengkapan berkas,” ujar Sistha, seperti dikutip dari Radar Bangkalan, Jumat (6/9).
Selain di Bangkalan, hal serupa juga terjadi di Kabupaten Sampang. Menurut Direktur Utama Bank Sampang, Syaifulloh Asyik, lebih dari 15 anggota dewan setempat telah mengajukan pinjaman bermodal SK pengangkatan mereka. Syaifulloh menambahkan bahwa sebagian besar yang mengajukan pinjaman adalah anggota DPRD lama yang memiliki riwayat kredit baik di bank.
“Pinjaman yang diajukan bervariasi antara Rp500 juta hingga Rp1 miliar, dengan masa pengembalian 1 hingga 5 tahun,” jelas Syaifulloh.
Fenomena serupa juga terjadi di Kabupaten Pasuruan. Abdul Karim, Ketua Sementara DPRD Kabupaten Pasuruan, mengungkapkan bahwa sudah ada empat anggota DPRD yang mengajukan pinjaman di Bank Jatim dengan menjaminkan SK mereka. Jumlah ini diprediksi akan terus bertambah, mengingat tren serupa yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
DPRD Depok Memilih Fokus pada Tugas Publik
Meskipun fenomena gadai SK di wilayah lain menunjukkan tren yang cukup signifikan, para anggota DPRD Depok justru lebih memilih untuk fokus pada tugas dan pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan komitmen mereka untuk menjaga integritas dan mengutamakan kepentingan masyarakat.
Dengan latar belakang ekonomi yang lebih stabil, para legislator di Depok tidak merasa perlu menempuh jalur gadai SK untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Sikap ini sekaligus menunjukkan perbedaan pandangan dan strategi keuangan antaranggota dewan di berbagai daerah, khususnya di Jawa Timur dan Depok.
Fenomena ini mencerminkan realitas politik dan ekonomi yang bervariasi di setiap daerah, serta bagaimana para legislator mengelola keuangan mereka pasca dilantik. Bagi anggota DPRD Depok, menjaga fokus pada pelayanan publik menjadi prioritas, sementara di wilayah lain, kebutuhan finansial pasca kampanye masih menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan keuangan.( JW )