tribundepok.com – Universitas Indonesia (UI) melalui UPT Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan (K3L) mengadakan webinar bertajuk “Protecting Children from Tobacco Industry Interference”. Selasa (11/6/2024) Acara ini dilatarbelakangi oleh peningkatan penggunaan rokok elektrik di kalangan anak-anak dan remaja. Kepala UPT K3L UI, Prof. Dr. Ir. Sjahrul M. Nasri, M.Sc., menyebutkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, penggunaan rokok elektrik meningkat sepuluh kali lipat. Indonesia kini menjadi konsumen rokok elektrik terbesar di dunia.
Sekretaris Universitas UI, dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D., dalam sambutannya, menekankan bahaya rokok, baik konvensional maupun elektrik, yang dapat menyebabkan penyakit tidak menular (PTM). “Untuk mencegah PTM pada diri sendiri maupun orang-orang di sekitar kita, salah satu gaya hidup yang harus diperbaiki adalah tidak merokok. UI sebagai institusi pendidikan tinggi berkewajiban untuk memberikan edukasi tentang bahaya rokok bagi perokok aktif maupun pasif, dampak yang dimunculkan, serta upaya pencegahannya,” ujar dr. Agustin.Selasa 11 Juni 2024
Ketua Umum Pusat Kajian Jaminan Sosial UI, Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D., IPU, ASEAN Eng., yang hadir sebagai narasumber, mengatakan bahwa anak muda kini menjadi target utama pemasaran rokok. Mereka cenderung loyal pada merek rokok pertama yang dikonsumsi, memberikan keuntungan besar bagi pabrik rokok dalam jangka panjang. Berdasarkan riset, harga rokok dan pengaruh teman sebaya menjadi dua faktor utama yang mendorong anak muda untuk merokok. Riskesdas mencatat peningkatan persentase perokok usia muda (di bawah 18 tahun) dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018.
Di kalangan anak muda, rokok elektrik semakin populer dan mudah ditemukan di berbagai daerah. Aryana menegaskan bahwa risiko kesehatan dari rokok elektrik sama besarnya dengan rokok konvensional karena keduanya mengandung nikotin. Bahkan, risiko rokok elektrik bisa lebih tinggi karena sering kali digunakan bersamaan dengan rokok konvensional, yang meningkatkan kemungkinan penyakit dan komplikasi kesehatan.
“Rokok elektrik bukanlah substitusi rokok konvensional. Sebagian besar pengguna rokok elektrik juga menggunakan rokok konvensional, meningkatkan risiko kesehatan. Alternatif terbaik adalah berhenti merokok,” ujar Aryana.
Konsumsi rokok juga berdampak signifikan terhadap ekonomi rumah tangga dan nasional. Meski peningkatan belanja rokok hanya 1%, hal ini dapat meningkatkan risiko kemiskinan hingga 6%, mengorbankan anggaran untuk kebutuhan pokok seperti makanan bergizi, pendidikan, dan kesehatan. Beban biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok mencapai 27,7 triliun rupiah setiap tahunnya, mencakup perawatan medis untuk penyakit jantung, kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan lainnya, serta kehilangan produktivitas.
Aryana merekomendasikan implementasi kebijakan pengendalian konsumsi rokok MPOWER yang dibuat WHO, meliputi monitoring penggunaan tembakau, melindungi masyarakat dari asap rokok, menawarkan bantuan untuk berhenti merokok, memberikan peringatan tentang bahaya rokok, menegakkan larangan iklan dan promosi rokok, serta menaikkan pajak atas produk tembakau. Revisi Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 juga diusulkan, termasuk meningkatkan peringatan bahaya rokok dari 50% menjadi 90% dan membatasi iklan rokok di media.
Dengan langkah-langkah ini, UI berharap dapat melindungi generasi muda dari bahaya rokok dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya hidup sehat tanpa rokok.( JW )