tribundepok.com – Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran dan Wakil Ketua Umum Partai Gelora, Fahri Hamzah, meragukan keras isu bergabungnya kubu Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud yang belakangan ini menjadi sorotan. Fahri, yang dikenal sebagai tokoh tajam berbicara, menyoroti sejarah hubungan dua partai pengusung tersebut yang, menurutnya, jauh berseberangan.
“Dalam 10 tahun terakhir, PDIP dan PKS terus menerus menunjukkan kepada masyarakat dan bangsa Indonesia bahwa mereka berbeda bagai minyak dan air. Dan itu betul-betul ditegaskan berkali-kali bahwa PDIP dan PKS tidak akan pernah berkoalisi dalam bentuk apapun,” tegas Fahri pada wartawan
Fahri menjelaskan bahwa PDIP dan PKS menjadi kutub ekstrem dari polarisasi politik di Indonesia. “Pemilih PKS dan PDIP terpolarisasi secara ekstrem. Dalam semua pemilu, pemilih dari dua partai ini berada pada spektrum terjauh di kiri dan kanan,” ujar Fahri, menciptakan gambaran dramatis mengenai keterpisahan kedua kubu.
Menurut Fahri, pendukung kedua partai tersebut munculkan tiga paslon yang ada saat ini dengan Anies Baswedan ditarik oleh kelompok kanan, sementara Ganjar Pranowo ditarik oleh kelompok kiri. “Dua kelompok ini adalah kelompok yang mustahil disatukan oleh adanya perbedaan ideologis yang sangat tajam,” tegasnya, menggambarkan kesulitan penyatuan.
Fahri lebih jauh menyimpulkan bahwa bergabungnya Partai Pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tidak berkaitan dengan kepentingan nasional, melainkan semata-mata karena amarah dan kekecewaan akibat penurunan dukungan masyarakat.
“Keinginan bersatu kedua kelompok dan partai ini pastilah bukan karena gagasan yang rasional, tetapi kepentingan dan kemarahan sesaat yang didorong oleh soal-soal lain yang tidak strategis dan tidak berdasar kepada agenda dan kepentingan nasional,” ungkapnya, menegaskan keraguan terhadap motivasi di balik kemungkinan kolaborasi.
Dengan elektabilitas yang terus merosot, Fahri percaya bahwa ini adalah pertanda akhir dari politik identitas yang tidak rasional dan hanya didasari oleh emosi sesaat. “Koalisi PKS-PDIP adalah pertanda dari berakhirnya politik identitas yang tidak rasional yang didasarkan kepada emosi dan kepentingan sesaat, karena jelas akhirnya bergabung. Sesuatu yang secara teoritis mustahil,” pungkasnya, memberikan prediksi kontroversial terkait arah politik Indonesia ke depan.***